03 November 2008

ANCAMAN PIDANA KERJA SOSIAL TERHADAP PELAKU

CYBERCRIME DI INDONESIA

(REFLEKSI PEMIKIRAN BERDASARKAN RUU KUHP TAHUN 2005)

Widodo

Abstrac: Nowadays, many crimes are committed by making use of computer and some crimes are targeting computer network and systems. Both are referred to as computer related-crime or cybercrime. Imprisonment, community service order (socially useful works), or fine are brought in criminals using the computer as an target of crime. Imprisonment and fine are brought in criminals using the computer as a target of crime. The probation and fine can substitute for the imprisonment. The socially useful works and probation have many advantages compared to the imprisonment, and they are suitable to the characteristics of computer-related crime actors. A draft of Criminal Code follows individualization of sentencing principals which are based on monodualistic balance. The punishments agree with Indonesian philosophy and system. Most norms in the Draft Criminal Code in line with foreign criminal law and Convention on Cybercrime, and resolution of United Nations.

Keywords: socially useful works, cybercrime

Perkembangan teknologi di bidang informatika (information tecnology) dapat mengakibatkan kejahatan di dunia maya (cybercrime). Secara terminologis, kejahatan yang terjadi di dunia maya (virtual) tersebut dapat disebut cybercrime atau computer-related crime). Barda Nawawi Arief (2002:259) menegaskan bahwa pengertian kedua istilah tersebut sama. Pengertian cybercrime menurut Eoghan Casey (2001:16), “is used throughout this text to refer to any crime that involves computer and networks, including crimes that do not rely heavily on computer. Cybercrime categories are: a computer can be the object of crime, a computer can be a subject of crime, the computer can be used as the tool for conducting or planning a crime, the symbol of the computer itself can be used to intimidate or deceive.” Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menguraikan bahwa kejahatan tersebut terdri atas 2 kategori, yaitu (a) cybercrime in narrow sense (computer crime); any illegal behavior directed by means of electronic operations that targets the security of computer system and the data processed by them. (b) cybercrime in broader sense (computer-related crime); any illegal behavior commited by means of, or in relation to, a computer system network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of computer system on network. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Cybercrime merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang atau oleh badan hukum yang (a) menggunakan komputer atau jaringan komputer sebagai sarana melakukan perbuatan melanggar hukum, atau (b) menjadikan komputer atau jaringan komputer sebagai sasaran perbuatan melanggar hukum.

Berdasarkan hasil penelitian Widodo, sampai saat ini pengadilan Indonesia hanya menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda terhadap pelaku cybercrime. Dasar hukum yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang (UU) di luar KUHP, misalnya UU Telekomunikasi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Perbankan (Widodo, 2006:344).

Secara teoretik, penjatuhan jenis pidana penjara dan pidana denda tersebut tersebut dapat mengundang perdebatan, karena selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek pencegahan umum (deterence effect) cukup andal. Bahkan Sudarto (1981:90) menegaskan bahwa sejak dahulu sampai saat ini efektivitas pidana penjara diragukan. Roger Hood (1967:73) mengemukakan bahwa Most studies show that lengthy institutional senten­ces are no more successful than shorter alternatives”. Selain keraguan tersebut, pelaku cybercrime mempunyai karakteristik dan motivasi yang unik sehingga belum tentu sesuai dengan karakteristik pidana penjara (Widodo, 2006:253) sehingga aneh jika hanya dijatuhi pidana penjara dan dibina di Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk itu, perlu alternatif pengganti pidana penjara terhadap pelaku cybercrime, yaitu pidana kerja sosial (socially useful works/community service order). Hal ini didasarkan pemikiran bahwa dalam perspektif penologi, jenis pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan harus dapat mencapai tujuan pemidanaan, baik dalam konteks prevensi umum maupun prevensi khusus. Berdasarkan hasil survei tentang pelaksanaan pidana dan tindakan ternyata sistem perawatan yang berperikemanusiaan (misalnya pidana percobaan/probation) sedikit lebih efektif untuk mengurangi kemungkinan pengulangan tindak pidana (residivisme) dibandingkan dengan beberapa bentuk pidana lainnya. ''Humanitarian systems of treatment (e.g. probation) are no less effective in reducing the probability of recidivism than several forms of punishment.” (Wilkins, 1967: 81).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli dan hasil penelitian tersebut, maka pidana penjara perlu diganti dengan pidana jenis lain, salah satunya adalah pidana kerja sosial. Hal ini didasarkan pada pendapat P. J. Tak, bahwa ada tiga alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana penjara, yaitu kontrak atau perjanjian untuk pembinaan (contract threatment), pencabutan dan pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tertentu (deprivation and interdicts concerning rights or licencies), pidana kerja sosial (community service order) (Hamzah, 1993:24). Meskipun demikian, patut dikaji apakah jenis pidana kerja sosial relevan dengan konsepsi pemidanaan dan karakteristik pelaku kejahatan tersebut, serta bagaimana prospek pengaturannya. Untuk itu, perlu dikaji tentang relevansi jenis pidana kerja sosial dengan tujuan pemidanaan dan ditelaah dalam perspektif BUKU I Rancangan Undang-Undnang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2005 (selanjutnya disebut RUU KUHP), dan bagaimana rencana aplikaksinya.

KARAKTERISTIK PIDANA KERJA SOSIAL DAN PROSPEK PENGATURANNYA DALAM RUU KUHP INDONESIA

Hukum pidana Indonesia yang saat ini berlaku belum mengatur tentang jenis pidana kerja sosial, tetapi masih dirancang dalam Buku I RUU KUHP Tahun 2005. Sosialisaisi rencana pemberlakuan pidana jenis baru ini perlu dilakukan agar memperoleh dukungan dari masyarakat. Ini didasarkan pada pendapat Shelley (1991:5), bahwa Public knowledge of criminal sanctions is not a minor matter, Legislatures often attempt to control crime through general deterrence, meaning that they increase or alter the penalty for an offense in order to deter persons who might commit the offense. But changes in criminal sanctions can scarcely have a deterrent effect if the public is unaware of them. Hence, publicizing a new sanction can be as critical as enacting it.

Secara kronologis, pidana kerja sosial merupakan jenis sanksi pidana generasi ke empat yang muncul karena adanya anggapan bahwa pidana denda (sebagai pidana genarasi ke tiga) kurang efektif jika diterapkan secara luas di masyarakat (Hamzah, 1993:18-21).

Pengertian pidana kerja sosial tidak dijelaskan dalam Pasal 83 RUU KUHP. Penulis berpendapat, pengertian pidana kerja sosial adalah jenis pidana berupa pelaksanaan pekerjaan tertentu oleh terpidana di masyarakat tanpa mendapatkan upah, berdasarkan persyaratan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Dalam konteks ini, putusan pengadilan tersebut dianggap sebagai perintah (orders) terhadap terpidana, yaitu tentang jangka waktu pelaksanaan pidana dan tempat pelaksaaan pidana. Persyaratan-persyaratan pidana kerja sosial diuraikan dalam Pasal 83 RUU KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pidana kerja sosial tersebut dapat digunakan sebagai alternatif pengganti penjatuhan pidana jangka pendek. Uraian ini didasarkan pada ketentuan RUU KUHP Pasal 83 dan penjelasannya, bahwa pidana kerja sosial dapat diterapkan sebagai altertnatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Secara eksplisit, dalam Buku II RUU KUHP tidak ada satu pun tindak pidana yang diancam dengan pidana kerja sosial. Karena itu, ancaman pidana tersebut bersifat alternatif, yaitu jika hakim menganggap bahwa terdakwa layak dijatuhi pidana kerja sosial. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana kerja sosial adalah harus ada persetujuan terdakwa sesuai dengan ketentuan dalam Forced Labour Convention (Geneva Convention 1930), ehe Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom (Treaty of Rorne 1950), the Abolition of Forced Labour Convention (the Geneva Convention. 1957) dan the International Covenant on Civil and Political Rights (the New York Convention, 1966).

Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty), oleh karena itu pealaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersial. Riwayat sosial terdakwa diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapan yang bersangkutan baik secara fisik maupun mental dalam menjalani pidana kerja sosial. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, rumah panti asuhan, Panti Lanjut Usia (Lansia), sekolah, atau lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana.

Pidana Kerja Sosial dapat dijatuhkan jika musyawarah majelis hakim yang memeriksa suatu perkara memutuskan bahwa terdakwa akan dijatuhi pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan (2) RUU KUHP. Selain itu, dalam penjatuhan pidana kerja sosial, hakim wajib dipertimbangkan hal-hal berikut: pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; usia layak kerja dari terdakwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; persetujuan terdakwa terhadap kerja sosial, yaitu sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; riwayat sosial terdakwa; perlindungan keselamatan kerja terdakwa; keyakinan agama dan politik terdakwa; dan kemampuan terdakwa membayar denda.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 86 ayat (3), (4), (5), (6), dan (7) RUU KUHP, diatur bahwa pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan. Kemudian, pidana kerja sosial dilaksanakan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama: (a) Dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan (b) Seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermafaat. Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan: mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut; menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar.

DASAR-DASAR PERTIMBANGAN ANCAMAN DAN PENJATUHAN PIDANA KERJA SOSIAL TERHADAP PELAKU CYBERCRIME

RUU KUHP menyebut cybercrime, dengan istilah Tindak Pidana terhadap Informatika dan Telematika. Penulis berpendapat bahwa secara substantif, pengertian cybercrime sama dengan tindak pidana terhadap informatika dan telematika. Tindak pidana tersebut diatur dalam bagian ke lima paragraf 1, (tentang penggunaan dan perusakan informasi elektronik dan domein), Paragraf 2 (tentang tanpa hak mengakses komputer dan sistem elektronik ), Paragraf 3 (tentang pornografi anak melalui komputer), antara Pasal 374 sampai dengan Pasal 380. Semua tindak pidana tersebut diancam pidana penjara dan pidana denda, dengan batasan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus. Dalam pasal tersebut tidak ada satu pun pasal yang mengancam pelaku tindak pidana dengan pidana kerja sosial.

Berdasarkan ketentuan tentang pengertian dan pelaksanaan pidana (strafmodus) pidana kerja sosial dalam RUU KUHP, penulis berpendapat bahwa karena tidak ada ketentuan tegas dalam RUU KUHP yang mengatur tentang tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial, maka putusan untuk menjatuhkan pidana kerja sosial mutlak ditentukan oleh hakim berdasarkan pedoman pemidanaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 RUU KUHP. Meskipun demikian, jika berdasarkan ketentuan Pasal 55 RUU KUHP majelis hakim sepakat untuk menjatuhkan pidana penjara yang jangka waktunya tidak melebihi 6 bulan terhadap pelaku cybercrime maka pidana kerja sosial lebih tepat dijatuhkan dari pada menjatuhkan pidana penjara.

Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan oleh Widodo (2006), pelaku cybercrime di Indonesia layak diancam dengan pidana kerja sosial. Kesimpulan tersebut didasarkan pada alasan berikut.

§ Karakteristik pelaku cybercrime unik, yaitu berusia relatif muda, terdidik, orang-orang terhormat, terampil mengoperasikan komputer beserta program aplikasinya, menyukai tantangan teknologi, kreatif, dan ulet. Jika kemampuan terpidana tersebut, misalnya tentang kemahiran membuat metode pengamanan program atau sistem komputer, diajarkan kepada masyarakat atau institusi tempat pelaksanaan pidana kerja sosial, maka perkembangan teknologi informasi di masyarakat dapat lebih cepat dan aman.

§ Penjatuhan pidana kerja sosial juga dapat menghindarkan terpidana dari prisonisasi dan stigmatisasi yang timbul dari pembinaan narapidana di LAPAS.

§ Cara mempekerjakan pelaku pada instansi-instansi tertentu, membuka peluang bagi terpidana untuk direkrut sebagai pegawai atau konsultan oleh instansi tersebut setelah selesai melakukan pidana kerja sosial, karena sudah mengetahui kualitas pekerjaannya. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Kemampuan para pelaku tersebut dimanfaatkan untuk pengelolaan sistem informasi yang berbasis komputer, misalnya di Kepolisian, Angkatan Perang, Federal Bureau Investigation (FBI), dan perusahaan jasa bidang teknologi informasi.

Pengadilan di Indonesia dapat menjatuhkan pidana kerja sosial sebagai pengganti pidana penjara jangka pendek (yaitu kurang dari 6 bulan) terhadap terdakwa yang melakukan cybercrime. Hal ini didasarkan pada pertimbangan yuridis, bahwa dalam pasal-pasal yang mengatur cybercrime sebagaimana ditentukan dalam RUU KUHP, pidana diancamkan dengan stelsel maksimum sehingga hakim dapat berpeluang untuk menjatuhkan pidana kerja sosial berdasarkan pedoman pemidanaan. Jenis pidana ini diancamkan terhadap pelaku cybercrime (yaitu yang melakukan kejahatan terhadap siste atau jaringan komputer di 8 negara, yaitu Azerbaijan, Beylorusia, Georgia, Hungaria, Kazakstan, Latvia, Peru, dan Rusia (Widodo, 2006:256). Ketentuan dalam Hukum Pidana di kedelapan negara tersebut adalah sebagai berikut.

1. Azerbaijan

Article 273. Violation of electronic computer, system or network operating rules

273. (1) Violation of electronic computer, system or network operating rules on the part of a person having an access to electronic computers, their systems or networks resulted in erasing, blocking or modifying law protected computer information and caused a considerable damage is punished with denial of particular position or activity privileges within up to three years, or social works within the term from one hundred and sixty to two hundred hours, refinery works within up to one year or freedom limitation within up to two years.

2. Byelorussia

Article 352. Unauthorized capture of computer information


Unofficial copying or another illegal capture of information stored in the computer system or on the machine carriers, as well as interception of data transmitted by means of computer connection, or caused considerable damage are punished with social works, fine, arrest within up to six months, freedom limitation within up to two years or imprisonment within the same term.

3. Georgia

Article 286. Violation of electronic computer, system or network operating rules

1. Violation of electronic computer, system or network operating rules on the part of a person having an access to electronic computers, their systems or networks resulted in deleting, blocking, modifying or copying law protected computer information or caused a considerable damage is punished with fine, socially useful works within the term from one hundred and eighty to two hundred hours or freedom limitation within up to two years with denial of particular position or activity privileges within up to three years or without it.

4. Hungaria

Section 300/C

(1) Any person who gains unauthorized entry to a computer system or network by compromising or defrading the integrity of the computer protection system or device, or overrides or infringes his user privileges, is guilty of misdemeanor punishable by imprisonment not to exceed one year, work in community service or a fine.

(2) Any person who

a) without permission alters, damages or deletes data stored, processed or transmitted in a computer system or network or denies access to the legitimate users,

b) without permission adds, transmits, alters, damages, deletes any data, or uses any other means to disrupt use of the computer system or network is guilty of misdemeanor punishable by imprisonment not to exceed two years, work in community service or a fine.

Section 300/E

(1) Any person who, for the commission of the criminal activities defined in Section 300/C,

a) creates,

b) obtains,

c) distributes or trades, or otherwise makes available computer
software, passwords, entry codes, or other data with which to gain access to a computer system or network is guilty of misdemeanor punishable by imprisonment not to exceed two years, work in community service or a fine.

5. Kazakhstan

Article 227. Unauthorized access to computer information, as well as production, use or spread of electronic computer detrimental programs

1. Unauthorized access to law protected computer information in the electronic computers, their systems, networks or on the machine carriers resulted in erasing, blocking, modifying, copying data or disturbing the work of electronic computers, their systems or networks is punished with fine from two hundred to five hundred monthly wages, condemned person’s wages or another income within the term from two to five months, socially useful works within the term from one hundred and twenty to one hundred and eighty hours, refinery works within up to one year or imprisonment within the same term.

6. Latvia

Section 245. Violation of Safety Provisions Regarding Information Systems


For a person who commits violation of provisions regarding information storage and processing, which have been formulated in accordance with an information system or the protection thereof, or violation of other safety provisions regarding computerised information systems, where committed by a person responsible for compliance with these provisions, if such has been a cause of theft, destruction or damage of the information, or other substantial harm has been caused thereby, the applicable sentence is deprivation of liberty for a term not exceeding two years, or community service, or a fine not exceeding forty times the minimum monthly wage.

7. Peru

Computer Crimes

Article 208-A. Any individual who inappropriately enters or uses a database, computer system or network, or any part thereof, to design, implement, copy or modify a scheme or similar item will be punished by imprisonment not to exceed two years or the provision of between fifty-two and one hundred-four days of community service.

If the agent acts with the purpose of defrauding or obtaining an economic benefit (goods or information), he or she will be punished by imprisonment not to exceed three years or the provision of community service in an amount no less than one hundred four days.

8. Rusia

Article 274. Violation of electronic computer, system or network operating rules

i. Violation of electronic computer, system or network operating rules on the part of a person having an access to electronic computers, their systems or networks resulted in erasing, blocking or modifying law protested information and caused a considerable damage is punished with denial of particular position or activity privileges within up to five years, obligatory works within the term from one hundred and eighty to two hundred hours or freedom limitation within up to two years. (

Berdasarkan uraian pendapat dan tentang ketentuan pidana kerja sosial di atas, penulis berpendapat sebagai berikut.

§ Pidana kerja sosial dapat diancamkan secara eksplisit dalam RUU KUHP terhadap terpidana yang melakukan kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran. Pidana kerja sosial diancamkan secara alternatif dan ditulis dalam urutan ke dua setelah ancaman pidana penjara. Misalnya dirumuskan sebagai berikut, ”Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak melakukan modifikasi program komputer yang dilindungi oleh kode akses… dipidana penjara paling lama … tahun atau pidana kerja sosial, dan pidana denda Kategori I. Ancaman pidana kerja sosial secara jelas (lex certa) dalam suatu pasal tersebut diperlukan untuk memberikan petunjuk pada hakim. Penulis berpendapat, bahwa syarat-syarat agar terdakwa yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial adalah sebagai berikut: (a) Terdakwa memenuhi ketentuan Pasal 71 RUU KUHP yang mengatur tentang keadaan-keadaan yang memungkinkan terdakwa tidak dijatuhi pidana penjara; (b) Selain dijatuhi pidana kerja sosial, terdakwa memungkinkan dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian sebagaimana diatur dalam RUU KUHP. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian, bahwa sasaran kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran bukan barang atau manusia, tetapi data atau sistem atau jaringan atau ketiga-tiganya. Jika pelaku memberikan ganti kerugian, maka korban dapat mengganti atau memperbaiki kerugian tersebut secara cepat.

Pendapat penulis tentang perlunya ancaman pidana kerja sosial secara ekspliisit dalam suatu pasal yang mengatur kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran tersebut sama dengan ancaman pidana kerja sosial terhadap pelaku kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran di 8 negara.

§ Meskipun tidak diancamkan dalam suatu pasal secara tegas, pidana kerja sosial dapat dijatuhkan pengadilan terhadap pelaku kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana dengan syarat bahwa terdakwa sudah dijatuhi pidana penjara dan/atau denda dan sudah menjalankannya. Setelah pelaksanaan pidana tersebut, terpidana atau orang tua atau wali atau penasihat hukumnya, atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas mengajukan perubahan jenis pidana sebagaimana dimaksud Pasal 60 RUU KUHP.

Pendapat penulis tentang pidana kerja sosial yang dapat dijatuhkan terhadap cybercrime di Indonesia juga didasarkan pertimbangan bahwa selama ini mayoritas objek kejahatan tersebut adalah harta kekayaan, bukan nyawa. Hal ini sesuai dengan pendapat Sue Titus Reid (1985: 316), bahwa kejahatan komputer tergolong dalam kejahatan terhadap harta kekayaan (property crime). Pendapat penulis tersebut selaras dengan ketentuan hukum dan praktik di Denmark, Belanda, Luxemburg dan Portugal, bahwa pidana kerja sosial dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tehadap harta kekayaan (crimes against property).

Dasar-dasar pertimbangan penulis merekomendasikan penjatuhan pidana kerja sosial terhadap pelaku cybercrime di Indonesia adalah sebagai berikut.

Dasar Pertimbangan Filosofis

Pidana kerja sosial selaras dengan sila ke lima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang di dalamnya terkandung nilai bekerja keras. Dalam menjalankan pidana kerja sosial, terpidana dituntut bekerja keras dalam menjalani pemidanaan (Astuti, 1997: 157). Kerja keras adalah salah satu sarana utama untuk menuju keadilan sosial (keadilan masyarakat). Selain itu, menurut penulis, pidana kerja sosial juga sesuai dengan nilai-nilai sila ke-2, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam sila ke-2 tersebut terkandung nilai-nilai pengakuan terhadap martabat manusia, karena manusia Indonesia adalah bagian dari warga masyarakat dunia yang berharkat dan bermartabat sama sebagai hamba Tuhan. Manusia dituntut berlaku adil dan menghormati hak asasi manusia lainnya, dan mengandung nilai penghormatan terhadap hak dan kewajiban asasi manusia. Kesesuaian ini tampak pada proses pelaksanaan pidana, yaitu terpidana ditempatkan di tempat kerja yang sesuai dengan keterampilan dan bakat narapidana, tidak merampas kemerdekaan narapidana, diintegrasikan dengan kelompok nonkriminal, dibimbing ke jalan yang benar oleh petugas yang kompeten. Dalam pidana kerja sosial juga terkandung nilai pengayoman, yaitu mengayomi narapidana dari pergaulan dengan kelompok kriminal lain yang dapat mengakibatkan narapidana bertambah jahat, mengayomi narapidana agar dapat hidup layak di kemudian hari, dan mengayomi narapidana dari balas dendam masyarakat atau korban kejahatan. Nilai-nilai Pancasila tersebut harus dilihat sebagai suatu kebulatan, karena meskipun nilai-nilai tersebut dapat dibedakan tetapi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Nilai Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar dari semua nilai, termasuk nilai keadilan. Keadilan tersebut harus mencerminkan sifat distribuif, kumulatif, vindikatif, dan keadilan protektif, serta keadilan yang berkesejahteraan dan keadilan sosial, yang mengarah pada akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Nilai keadilan tersebut berpangkal utama pada 3 sila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Widodo, 2006:*).

Pidana kerja sosial merupakan “budaya asli” bangsa Indonesia. Sedangkan pidana penjara yang diancamkan terhadap pelaku cybercrime sebagaimana diatur dalam RUU KUHP bukan merupakan budaya asli bangsa Indonesia. Menurut Made Sadhi Astuti (1997:157) dalam hukum adat Indonesia tidak dikenal pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Kesesuaian nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia dengan nilai-nilai pidana kerja sosial ini merupakan pendorong keberhasilan pelaksanaan pidana kerja sosial.

Dasar Pertimbangan Teoretis

Pidana Kerja Sosial Sesuai dengan Ajaran Teori Gabungan

Menurut teori gabungan (vernengings theorien), dalam penjatuhan pidana perlu adanya pemilahan dan pembedaan antara tahap-tahap pemidanaan narapidana, dan berat ringannya tindak pidana karena teori ini menggabungkan antara unsur pembalasan dengan unsur tujuan (prevensi) (Astuti, 1997: 32). Teori tersebut terbagi menjadi 3 konsepsi pemikiran. Menurut Made Sadhi Astuti, pemikiran ke tiga dalam teori gabungan, menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan dapat memenuhi keharusan pembalasan dan keharusan melindungi masyarakat, memberikan titik berat yang sama antara pembalasan dengan perlindungan masyarakat. Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, Van Dijk (1997:224) menagaskan bahwa tujuan pidana bertalian erat dengan jenis kejahatan yang dilakukan dan nilai-nilai budaya bangsa yang bersangkutan.

Berpijak pada konsepsi teori gabungan tersebut, menurut penulis pidana kerja sosial sudah memenuhi 5 proposisi dalam teori gabungan.

§ Pembedaan Pidana Berdasarkan Berat Ringannya Kejahatan dan Pembinaan Narapidana

Sebagaimana penulis kemukakan di atas bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran. Pidana ini merupakan alternatif pengganti pidana penjara jangka pendek, karena akibat kejahatan tersebut tidak terlalu besar dibandingkan dengan kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat. Pidana kerja sosial juga dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat, tetapi terdakwa harus dijatuhi pidana penjara terlebih dahulu kemudian pihak terpidana mengajukan permohonan kepada hakim untuk melakukan perubahan atau penyeseuaian pidana. Uraian ini menunjukkan tentang perlunya mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana sebelum hakim menjatuhkan pidana kerja sosial. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku di Inggris, “The object of Community Service orders is to provide unpaid work which is of value to the community as an alternative to custody. They are carried out within the National Standards and Objectives framework for Criminal Justice Services. This framework places clear expectations upon local authorities and those performing community service. Community Service by offenders provides an important, long established, community based alternative to imprisonment. (http:/www.glasgow.gov.uk, diakses, tanggal 12 Januari 2006 pukul 11.30. WIB ).

Dalam pidana kerja sosial terkandung unsur rehabilitasi, reedukasi, dan re sosialisasi. Selama menjalankan pidana, narapidana dibina dan dibimbing dan dibina dari sisi pembentukan sikap dan tingkah laku oleh Petugas Kemasyarakatan (dari BAPAS), wali narapidana (dari BAPAS), pamong narapidana (dari pegawai tempat pelaksanaan pidana), dari lembaga khusus yang dibentuk pemerintah (misalnya dari sukarelawan). Selama menjalankan pidana, perkembangan pekerjaan dan kepribadian terpidana selalu diawasi dan dipantau oleh petugas kemasyarakatan. Hasil pengawasan dan pengamatan tersebut dapat digunakan sebagai sarana membimbing narapidana agar dapat berperilaku baik dan aktif berpartisipasi dalam pembangunan.

§ Mengandung Unsur Pembalasan Berupa Penderitaan

Pidana kerja sosial dijatuhkan oleh pengadilan melalui putusan hakim. Pengumuman putusan hakim tersebut sudah merupakan unsur penderitaan berupa rasa malu bagi narapidana, karena masyarakat umum mengatahuinya. Proses pembinaan dan pengawasan narapidana di tempat pidana kerja sosial juga merupakan penderitaan, karena selalu diawasi dan dinilai. Pembebanan kewajiban narapidana untuk memenuhi segala persyaratan sebagaimana ditentukan oleh pengadilan, BAPAS, penanggungjawab tempat pidana kerja sosial juga dapat merupakan penderitaan. Jika terpidana tidak memenuhi kewajiban tersebut, akan diperintahkan melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam RUU KUHP Pasal 86 ayat (7). Melakukan pekerjaan untuk kepentingan pihak lain selama berpuluh-puluh jam dengan tidak mendapatkan upah juga merupakan penderitaan. Bahkan, pada saat terpidana membaur dengan kelompok nonkriminal di tempat pidana kerja sosial juga merupakan penderitaan, karena sebagain besar orang yang ada di tempat kerja tersebut mengetahui tentang status dan keberadaan narapidana.

§ Perlindungan Masyarakat

Melalui pidana kerja sosial, terpidana akan berusaha tidak mengulangi kejahatan sebagaimana yang pernah dilakukan karena jika melakukan tindak pidana lagi, maka pengadilan kemungkinan besar akan menjatuhkan pidana penjara dan denda dan tidak lagi menjatuhkan pidana kerja sosial untuk kedua kalinya. Anggota masyarakat lain yang berpotensi melakukan cybercrime juga akan menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan, karena mengetahui bahwa pelaku kejahatan dapat dijatuhi pidana. Jika terpidana dijatuhi pidana tidak mengulangi kejahatan dan anggota masyarakat lain takut melakukan kejahatan, maka masyarakat akan merasa terlindung karena ada kemungkinan terjadinya penurunan jumlah kejahatan yang berhubungan komputer sehingga masyarakat tidak akan menjadi korban.

§ Sesuai dengan Nilai Budaya Bangsa Indonesia

Pidana kerja sosial mempunyai nilai luhur, yaitu melakukan perbuatan yang bernilai sosial karena dilakukan di organisasi kemasyarakatan yang tidak mengutamakan perolehan keuntungan. Ini sesuai dengan sila ke dua dan ke lima Pancasila yang mengandung nilai kemanusiaan dan keadilan. Pada jaman dahulu atau mungkin juga sampai saat ini di beberapa daerah, meskipun perkara tersebut tidak diputus oleh pengadilan, para pelaku kejahatan sudah biasa dijatuhi pidana kerja sosial. Perintah pidana kerja sosial tersebut diberikan oleh kepala desa atau kepala adat atau tetua adat dalam masyarakat tersebut, misalnya membersihkan selokan, memperbaiki jalan. Perbuatan-perbuatan yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial, misalnya orang yang lalai menjaga Pos Sistem Keamanan Lingkungan (Kamling). Keputusan tersebut terjadi karena Kepala Desa mempunyai wewenang sebagai “hakim perdamaian desa”.

Pidana Kerja Sosial Sesuai dengan Aliran Modern dalam Hukum Pidana dan Konsep Individualisasi Pemidanaan

Individualisasi pemidanaan (Individualization of Sentencing) merupakan konsekuensi logis dari munculnya aliran modern (positif) dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perlu dilakukan dengan prinsip medis, dengan memperhatikan narapidana dari sisi biologis, psikologis dan sosiologis. Sheldon Gluack (Grupp, 1971: 287-288) mengemukakan adanya empat prinsip yang mendasari individualisasi pemidanaan, yaitu sebagai berikut.

a. The treatment (sentence-imposing) feature of the proceedings must be sharply differentiated from the guilt-finding phase.

b. The decision as to treatment must be made by a board or tribunal specially qualified in the interpretation and evaluation of pshychiatric, psychological, and sosiotogic data.

c.The treatment must be modifiable in the light of scientific reports of progress.

d. The right of the individual must be safeguarded against possible arbitrariness or other unlawful action on the part of the treatment tribunal.

Individualisasi pemidanaan adalah menjatuhkan pidana sesuai dengan kondisi pelaku tindak pidana dengan mengabaikan prinsip keseimbangan monodualistis. Barda Nawawi Arief berpendapat, bahwa keseimbangan tersebut adalah keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu, antara unsur objektif dengan unsur subjektif, antara kriteria formel dengan materiel, antara kepastian hukum dengan kelenturan dan keadilan (Arief, 1994: 14). Selain itu, juga harus ada keseimbangan antara nilai-nilai nasional dengan nilai-nilai global (Rancangan RUU tentang KUHP, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2005:4).

Konsepsi ini mengandung 3 karakteristik utama, yaitu pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi (asas personalitas), pidana hanya akan dijatuhkan terhadap orang yang bersalah (asas kulpabilitas), dan pidana disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku. Pidana kerja sosial memenuhi kriteria individualisasi pemidanaan, karena dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang bersalah, dan jenis pidana tersebut dapat diubah oleh hakim berdasarkan permohonan pihak terpidana. Jenis pidana juga sesuai dengan karakteristik pelaku cybercrime di Indonesia, dan karekteristik masyarakat Indonesia. Made Sadhi Astuti (1997: 129) menegaskan bahwa aliran modern memandang penjahat sebagai orang yang sakit sosial yang memerlukan terapi (cara penyembuhan melalui pengobatan). Terapi tersebut diperlukan oleh masing-masing penjahat yang didasarkan pada hasil penyelidikan ilmu-ilmu khusus yang mempelajari jiwa manusia, misalnya psikologi, psikiatri. Secara medis, agar pengobatan atau terapi dapat efisien dan efektif maka obat yang diberikan oleh dokter harus sesuai dengan kondisi pasien, bagitu pula kondisi perawat dan perawatan harus menunjang. Prinsip pengobatan klinis tersebut sesuai dengan penjatuhan pidana kerja sosial. Ini tampak dalam ilustrasi berikut. Kesesuaian antara jenis pidana (ibarat obat) dan jenis kondisi penjahat (ibarat pasien) akan memudahkan hakim (ibarat dokter) dalam memutuskan langkah penananganan untuk penyembuhan, berdasarkan hasil pemantauan pegawai BAPAS, wali narapidana, pamong narapidana, dan sukarelawan (ibarat perawat). Kondisi dan fasilitas yang ada dalam masyarakat nonkriminal (ibarat suasana rumah sakit) sehingga secara psikologis dan sosiologis dapat menunjang percepatan penyembuhan dan penyehatan mentalitas penjahat.

Pidana Kerja Sosial dapat Digunakan sebagai Sarana Pencapaian Tujuan Teori Pemidanaan Integratif

Dalam KUHP yang berlaku saat ini tidak ditemukan ketentuan tentang tujuan pemidanaan. Untuk mengetahui tujuan pemidanaan, penulis menggunakan hasil temuan penelitian Muladi (tahun 1990), yaitu teori pemidanaan integratif. Berdasarkan hasil penelitian Muladi, pemidanaan mempunyai tujuan intergratif yaitu yaitu perlindungan masyarakat, pemeliharaan solidaritas masyarakat, pencegahan umum dan khusus, dan pengimbalan/pengimbangan. Teori integratif memungkinkan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, yang secara terpadu diarahkan untuk mengatasi dampak individual dan sosial yang ditimbulkan oleh tindak pidana atas dasar kemanusiaan dalam sistem Pancasila. Kombinasi tersebut mencakup seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi oleh setiap penjatuhan sanksi pidana. Ini selaras dengan kondisi filosofis, sosiologis, dan ideologis masyarakat Indonesia (Muladi, 1992:11).

Pidana Kerja Sosial dapat Digunakan sebagai Sarana Pencapaian Tujuan Pemidanaan Sebagaimana Direncanakan dalam RUU KUHP

Dalam Bagian ke Satu Paragraf 1 Pasal 54 ditentukan tentang tujuan pemidanaan, yaitu sebagai berikut.

(1) Pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Pidana kerja sosial dapat mencegah tindak pidana, karena dalam pelaksanaan tersebut tercakup aspek pembinaan, pendidikan, pengawasan, dan evaluasi narapidana dan hasil pekerjaannya. Pidana kerja sosial mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan pidana penjara, sehingga akan lebih efektif dalam mencapai tujuan. Dalam pidana kerja sosial terkandung juga aspek perlindungan baik bagi masyarakat maupun narapidana sehingga terpidana dapat menjadi lebih baik, dan masyarakat merasa aman dari terulangnya tindak pidana. Pidana kerja sosial dilaksanakan di masyarakat sehingga masyarakat mengetahui bahwa pelaku kejahatan sudah dijatuhi pidana dan dibina. Melalui pidana kerja sosial, terpidana dapat merasakan penderitaan dan sekaligus pembinaan oleh masyarakat dan petugas khusus. Berdasarkan ide penulis tentang tahap-tahap pelaksanaan dan pelaksanan pidana kerja sosial di Indonesia di atas, tampak bahwa pidana kerja sosial tidak mendatangkan penderitaan yang berlebihan dan tidak merendahkan martabat manusia.

Dasar Pertimbangan Empiris

Secara empiris, keunggulan pidana kerja sosial dibandingkan dengan jenis pidana lain adalah: dapat mencegah stigmatisasi dan prisonisasi terpidana, narapidana dapat memperbaiki tingkah laku dengan fasilitas yang ada di masyarakat, melindungi terpidana dan masyarakat, sesuai dengan karakteristik pelaku cybercrime, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan pelaksanaan di luar negeri, tidak bertentangan dengan ketentuan Convention on Cybercrime (tahun 2001) dan rekomendasi PBB dalama beberapa kali kongres, dan dapat mengurangi pengeluaran uang negara. Sanksi dan tindakan yang dapat terhadap pelaku cybercrime berdasarkan Convention on Cybercrime adalah:

Article 13 – Sanctions and measures

1. Each Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to ensure that the criminal offences established in accordance with Articles 2 – 11 are punishable by effective, proportionate and dissuasive sanctions, which include deprivation of liberty.

2. Each Party shall ensure that legal persons held liable in accordance with Article 12 shall be subject to effective, proportionate and dissuasive criminal or non-criminal sanctions or measures, including monetary sanctions.

Upaya Pencegahan Stigmatisasi dan Prisonisasi Terpidana melalui Pidana Kerja Sosial

Salah satu efek negatif dari pelaksanaan pidana penjara adalah terjadinya sigmatisasi atau pemberian “cap jahat” terhadap mantan narapidana. Masyarakat seringkali tidak percaya terhadap mantan narapidana, bahkan secara kultural kehadiran narapidana ditolak oleh masyarakat. Stigma dan penolakan tersebut menyebabkan tekanan psikologis pada mantan narapidana, bahkan keluarga juga ikut merasakan rasa malu. Dalam perspektif teori labeling, tekanan psikologis dan stigma dari masyarakat (sebagai deviasi primer) kadangkala akan mendorong mantan narapidana melakukan kejahatan (sebagai deviasi sekunder). Deviasi sekunder dapat muncul, karena meskipun mantan narapidana sudah tidak melakukan kejahatan, masyarakat sering menuduh atau sinis atau mencurigai bahwa setiap kali ada kejahatan, mantan narapidana tersebut dianggap pelaku. Berdasarkan label tersebut, mantan narapidana terdorong melakukan kejahatan lagi. Deviasi sekunder tersebut merupakan reaksi terhadap deviasi primer.

Pengertian prisonisasi menurut Clemmer adalah, the general process by which a child is taught the behavior of his group is called “socialization” and the somewhat comparable process among inmates has been named “prizonization” (Sutherland dan Cressey, 1960: 498). Proses yang umum, jika seorang anak diajari berperilaku dari kelompoknya disebut "sosialisasi", dan proses tersebut sedikit banyaknya terjadi dalam proses antarnarapidana dalam penjara, yaitu disebut prisonisasi. Menurut Made Sadhi Astuti (1997:147), dalam prisonisasi narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana, mempelajari kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai masyarakat tersebut. Selanjutnya ditegaskan bahwa penjara tidak mengubah kejahatan, bahkan melatih kejahatan …sehingga pidana perampasan kemerdekaan berdampak negatif pada terpidana.

Jika pidana penjara diganti dengan pidana kerja sosial, maka narapidana dapat terhindar dari stigmatisasi dan prisonisasi, karena narapidana tidak mengikuti pembinaan di LAPAS. Pidana kerja sosial ini juga tepat jika dijatuhkan kepada penjahat yang pertama kali melakukan kejahatan (first oferder).

Perbaikan Tingkah Laku Narapidana dengan Mendayagunakan Fasilitas yang Tersedia di Masyarakat

Narapidana yang dipidana di luar LAPAS mempunyai kesempatan untuk memperbaiki sikap dan tingkah lakunya secara optimal. Narapidana dapat menggunakan semua fasilitas yang ada untuk pembinaan, misalnya wali narapidana, pamong narapidana, termasuk dari pembina lain dari BAPAS dan lembaga sosial lain yang ada, rohaniwan, ahli tingkah laku (psikolog, ahli pendidikan, ahli bimbingan dan konseling), teman pergaulan. Pemanfaatan fasilitas tersebut dapat mendorong upaya perbaikan sikap narapidana, khususnya dalam rangka membangkitkan rasa percaya diri dan resosialisasi. Menurut Sutherland, upaya peningkatan rasa percaya diri termasuk sarana penanggulangan kejahatan. Masyarakat Indonesia yang mengutamakan nilai gotong royong dan kekeluargaan menjadi salah satu modal utama keberhasilan pidana kerja sosial, karena masyarakat diikutsertakan dalam pembinaan narapidana.

Penulis berpendapat, bahwa pembinaan narapidana dalam lembaga tempat pidana kerja sosial, yaitu di luar LAPAS merupakan langkah yang tepat, karena selain dapat mengurangi risiko terjadinya prisonisasi dan labelisasi, masyarakat dapat juga melakukan pembinaan secara terbuka dengan menggunakan semua fasilitas yang tersedia, misalnya karang taruna, keluarga, tokoh masyarakat, lembaga-lembaga sosial, dan lembaga pendidikan. Hasil penelitian Roger Hood (1967:73), menyimpulkan bahwa pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan yang bersifat terbuka lebih efektif dibandingkan di lembaga pemasyarakatan, begitu juga penelitian Leslie T. Wilkins (1967:81) menghasilkan kesimpulan hang sama. Hal ini selaras dengan pendapat Sutherland berpendapat bahwa metode reformasi untuk mengurangi residivis dapat dilakukan dengan 4 macam bentuk perlakuan (treatment), yakni reformasi dinamik, reformasi klinis, reformasi hubungan kelompok, dan pelayanan profesional (professional service). Keempat langkah tersebut dapat dilakukan di tempat pidana kerja sosial oleh pembina, pamong, dan teman kerja, yaitu untuk memperbaiki tingkah laku dengan mengembangkan dinamika kelompok, modifikasi perilaku berdasarkan konsep-konsep psikologis, dan pelayanan kepada narapidana secara profesional. Berkitan dengan pembinaan narapidana, Allan R. Coffey (1990:162) menyatakan bahwa dalam perencanaan strategi pencegahan kejahatan perlu adanya pengembangan program modifikasi perilaku, peningkatan pelayanan jasa kelembagaan untuk pelanggar. Selanjunya diuraikan, “Prevention activities under the second and third approaches fall more within the purview of correctional institutions and suggest the involvement of that segment of criminal justice in the dialogue between the police and the community. But the approaches of behavior modification and programs to counteract influences toward crime and delinquency offer clear opportunities for the citizen in the community; in this case, law enforcement plays a supportive role for the community.” Dalam kaitannya dengan kajian ini, Gennaro F. Vito dan Ronald M. Holmes (1994:228) juga mengemukakan bahwa “Rahabilitation a correctional concept whereby a criminal is changed in to law abiding member of society. This practice is based on the belief there are controllable caused of criminal behavior.” Dalam memodifikasi perilaku terpidana, masyarakat dan pengadilan perlu melakukan langkah-langkah konret. Hal senada dikemukakan Joseph E. Jacoby (1994:661), “the police, courts, and correctional agencies must be given substantially greater amounts of money if they are to improve their ability to control crime. Individual citizens, civic and business organizations, religious institutions, and all levels of government must take responsibility for planning and implementing the changes that must be made in the criminal justice system if crime is to be reduced.”

Perlindungan terhadap Terpidana dan Masyarakat

Selain terhindar dari stigmatisasi dan prisonisasi, terpidana kerja sosial juga terhindar dari penderitaan akibat perampasan kemerdekaan, efek negatif dari perampasan kemerdekaan, dan dehumanisasi di dalam LAPAS. Pidana kerja sosial memberikan peluang kepada narapidana untuk dapat menjalankan kehidupan di masyarakat sebagaimana biasanya agar tidak frustrasi. Keberhasilan pidana kerja sosial sekaligus melindungi masyarakat, karena cybercrime dapat diminimalisasi.

Karakteristik Pelaku Cybercrime Selaras dengan Karakteristik Pidana Kerja Sosial

Karakteristik pelaku cybercrime di Indonesia mirip dengan di luar negari, yaitu berusia muda, mayoritas berjenis kelamin laki-laki menyukai tantangan teknis, menguasai pengoperasian program komputer dan aplikasinya, dari kalangan terdidik, tinggal di wilayah perkotaan. Para pelaku tersebut sangat tepat jika dijatuhi pidana kerja sosial, karena dapat berinteraksi dan berasimilasi dengan masyarakat nonkriminal dan keluarga, dapat mengaplikasikan keahliannya di tempat kerja sesuai dengan minat dan keahliannya, mendapatkan bimbingan dan pembinaan secara manusiawi, tidak dikumpulkan dengan kelompok masyarakat kriminal, perkembangan narapidana dapat dipantau secara individual sehingga jika terjadi kekurangtepatan penjatuhan pidana dapat dilakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu.

Melalui pidana kerja sosial, narapidana masih dapat melanjutkan kegiatan sebagaimana biasa dilakukan sehari hari (misalnya bekerja, sekolah, kuliah) secara manusiawi berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Narapidana juga mempunyai kesempatan untuk mengabdikan keahliannya untuk kepentingan masyarakat.

Pidana Kerja Sosial Sesuai dengan Kebutuhan Masyarakat

Terpidana kerja sosial dibutuhkan oleh sebagian masyarakat, khususnya pengelola lembaga kemasyarakatan yang menggunakan peralatan teknologi informasi yang belum mempunyai banyak pengalaman dalam pengelolaan bidang tersebut, karena terpidana menguasai bidang teknologi informasi dan dapat dimintai bantuan memberikan pelatihan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kehadiran terpidana dapat di tempat pelaksanaan pidana kerja sosial dapat memberikan bantuan keterampilan kepada para operator komputer secara gratis. Selain itu, melalui pidana kerja sosial, keinginan masyarakat untuk memidana setiap orang yang bersalah juga terpenuhi.

Gagasan Pidana Kerja Sosial di Indonesia Sesuai dengan Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial di Luar Negeri

Pada 8 negara asing sebagaimana tersebut di atas sudah mengancamkan dan menjatuhkan pidana kerja sosial kepada pelaku cybercrime. Selain itu, di beberapa negara juga sudah melaksanakan pidana kerja sosial, misalnya Denmark, Inggris, Balanda, Jerman, Perancis, Norwegia, Portugal, Australia, dan Selandia Baru. Keberhasilan pencapaian tujuan pemidanaan melalui pidana kerja sosial cukup efektif, misalnya di Inggris ((http:/www.glasgow.gov.uk, diakses, 12 Januari 2006 pukul 11.30 WIB).

Pidana Kerja Sosial Sesuai dengan Ketentuan Convention on Cybercrime dan Hasil Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa

Dalam Convention on Cybercrime diatur tentang asas-asas pidana dan tindakan, yaitu proporsional, mendidik, mengutamakan perlindungan hak asasi terpidana, dan mengarah pada kemanfaatan bagi terpidana. Asas-asas tersebut terwujud dalam pidana kerja sosial. sebagaimana dalam beberapa kongres, PBB menekankan perlunya pembatasan penggunaan pidana penjara dan mencari alternatif penggantinya. Pidana yang hendak digantikan terutama pidana penjara jangka pendek, yaitu pidana penjara yang dijatuhkan dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan. Berkaitan dengan kelemahan pidana penjara jangka pendek, Kongres ke-2 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders tahun 1960 di London, merekomendasikan, bahwa dalam berbagai kasus, pidana penjara jangka pendek mungkin berbahaya, yaitu si pelanggar dapat terkontaminasi, dan hanya sedikit atau bahkan pidana tersebut tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, oleh karena itu penggunaannya secara luas tidak dikehendaki. Namun demikian, kongres mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara jangka pendek diperlukan, yaitu dilihat dari tujuan keadilan. Kongres PBB juga memaklumi bahwa dalam praktik, penghapusan secara menyeluruh terhadap pidana penjara jangka pendek tidak mungkin. Pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai dengan cara mengurangi jumlah penggunaaannya. Pengurangan secara berangsur-angsur tersebut dilakukan dengan cara menetapkan bentuk-bentuk pidana pengganti atau alternatif, misalnya pidana bersyarat atau pidana pengawasan atau probation, pidana denda, pidana kerja sosial, dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung unsur perampasan kemerdekaan. Jika pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindari, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana yang dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama, dan dalam pembinaannya harus bersifat konstruktif, bersifat pribadi dan dalam lembaga yang bersifat terbuka (open institution). Melalui pidana kerja sosial akan berkembang penerapan prinsip-prinsip etika pada diri terpidana. PBB melalui Kongres Milineum menegaskan bahwa “members are also commited to participate in the development of code behaviour and ethics around computer and internet use, and in campaigns for the need for ethical and responsible online bahaviour. Given the international reach of internet users around the round the wordl must be made aware of the need for high standards of conduct in cyberspace”.

Pidana Kerja Sosial dapat Mengurangi Pengeluaran Anggaran Belanja Negara

Berdasarkan data dari Adi Suyatno, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, pada Pada tahun 1997, dari seluruh kapasitas penjara di Indonesia ini hanya 65% yang terisi. Pada tahun 1998 jumlah penghuni LAPAS, RUTAN, meningkat menjadi 66,13%. Pada tahun 2000, jumlah penghuni penjara meningkat menjadi 84,50% dari seluruh kapasitas dan terus meningkat 2001 (92,06%). Pada tahun 2002 kapasitas LAPAS sudah terisi 114,20%. Selama lima tahun terakhir tidak ada penambahan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan, Rutan, dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) di Indonesia, yakni masih terbatas hanya untuk 64.619 orang penghuni. Sebaliknya, jumlah penghuni LAPAS dan Rutan, yakni terdiri atas narapidana dan tahanan justru makin meningkat. Akibatnya, pada tahun ini, LAPAS sudah kelebihan penghuni (over capacity). Selanjutnya diungkapkan bahwa bersamaan dengan peningkatan kepadatan penghuni, sejumlah LAPAS dan Rutan mengalami persoalan pembinaan, apalagi jumlah petugas pemasyarakatan di LAPAS, Rutan, atau BAPAS tidak sebanding dengan jumlah narapidana dan tahanan. Petugas teknis di LAPAS atau Rutan saat ini hanya 23.015 orang. Bahkan di beberapa LAPAS dan RUTAN, perbandingan petugas penjagaan dengan jumlah narapidana atau tahanan sangat memprihatinkan, yaitu bahkan seorang petugas penjagaan berbanding 80 orang warga binaan pemasyarakatan (Harian Kompas, “Penjara Kelebihan Penghuni”, Sabtu, tanggal 21 Desember 2002).

Jumlah pengeluaran untuk membina narapidana di LAPAS sangat tinggi, karena jumlah penghuni LAPAS makin bertambah. Jika jumlah narapidana di LAPAS dapat dikurangi, maka biaya yang biasanya digunakan untuk pembinaan di LAPAS dapat dialihkan pada sektor lain yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat. Selain itu, jika narapidana di LAPAS berkurang, maka biaya yang dipikul oleh masyarakat untuk membina narapidana juga akan berkurang, karena anggaran belanja negara dapat dikurangi.

PROSPEK PELAKSANAAN PIDANA KERJA SOSIAL TERHADAP PELAKU CYBERCRIME DI INDONESIA

Berkaitan dengan pelaksanaan pidana kerja sosial yang dapat dijatuhkan kepada pelaku cybercrime di Indonesia, maka perlu perencanaan tentang tahap pelaksanaan, cara penempatan, lokasi, pengawas, penilai, pengamat beserta mekanismenya.

Tahap-Tahap Pelaksanaan Pemidanaan

Tahap-tahap pelaksanaan pidana kerjas sosial terhadap cybercrime di Indonesia adalah sebagai berikut.

§ Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, jaksa dapat melakukan eksekusi pidana kerja sosial, pihak kejaksaan negeri menyerahkan terpidana kepada Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Setelah itu, BAPAS memberikan pembekalan tentang secara lisan maupun tertulis disertai dengan petunjuk tertulis tentang pelaksanaan pidana kerja sosial kepada terpidana di Kantor BAPAS. Dalam pembekalan tersebut dijelaskan tentang (a) kondisi tempat pidana kerja sosial yang akan ditempati narapidana; (b) pekerjaan yang wajib dilakukan; (c) jangka waktu pelaksanaan; (d) hak dan kewajiban narapidana, wali narapidana, pembimbing kemasyarakatan; (e) identitas wali narapidana (dari BAPAS), identitas pamong narapidana (dari tempat kerja); (f) mekanisme pengawasan, penilaian dan pengamatan; (g) tata tertib di tempat kerja dan tata tertib pidana kerja sosial; (h) sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pelanggar tata tertib oleh pengawasan pidana kerja sosial; dan (i) sanksi yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan jika terpidana tidak memenuhi ketentuan putusan pengadilan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

§ Pegawai BAPAS menyerahkan narapidana kepada penanggungjawab tempat pidana kerja sosial beserta berkas-berkas yang diperlukan, misalnya salinan putusan pengadilan, format penilaian kerja sosial.

§ Penanggungjawab tempat pidana kerja sosial memberikan pembekalan tentang mekanisme kerja, termasuk prosedur pengamanan dan keselamatan kerja di lembaga yang dipimpinnya.

§ Secara periodik, misalnya setiap bulan atau setiap minggu, pihak BAPAS dan penanggungjawab tempat pidana kerja sosial membuat laporan perkembangan narapidana berdasarkan penilaian dan pengamatan terhadap narapidana, baik proses kerja, hasil kerja, lingkungan kerja, maupun kondisi fisik dan psikis terpidana.

§ Setelah selesai menjalani pidana, penanggungjawab tempat pidana kerja sosial menyerahkan kembali narapidana kepada BAPAS.

§ BAPAS menyerahkan kembali narapidana kepada Kejaksaan Negeri.

Mekanisme Penempatan Narapidana

Penempatan narapidana dapat dilakukan secara berkelompok maupun individual. Prinsip-prinsip penempatan adalah: (a) kesesuaian antara keahlian narapidana (misalnya bidang perakitan perangkat keras (hardware) komputer, pemrograman (programming), jaringan (networking), perawatan (maintenance), pengamanan data dan sistem, manajemen informatika) dengan tempat kerja; (b) pemisahan antara narapidana yang berjenis kelamin laki-laki dengan perempuan; (c) keterjangkauan, yaitu antara tempat tinggal terpidana dengan tempat kerja; dan (d) perlindungan hak asasi manusia.

Penempatan secara individual maupun berkelompok sebagaimana dilaksanakan di Inggris dapat juga dilakukan di Indonesia. Meskipun demikian, agar pelaksanaan pidana kerja sosial dapat berjalan lancar, perlu pedoman pelaksanaan pidana kerja sosial di Indonesia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri atau Direktorat jenderal yang membidangi pemidanaan agar berlaku secara nasional.

Penulis berpendapat, bahwa lokasi yang dapat digunakan untuk menempatkan terpidana kerja sosial adalah di yayasan-yayasan pendidikan, yayasan-yayasan sosial dan keagamaan, atau organisasi kemasyarakatan (Ormas) lain yang tidak mengutamakan keuntungan (nirlaba) yang sudah sudah memanfaatkan peralatan teknologi informasi. Hal ini didasarkan pertimbangan dari sisi kebutuhan sumberdaya manusia, yaitu bahwa tenaga kerja yang menguasai pengoperasian perangkat teknologi informasi dalam beberapa organisasi kemasyarakatan tersebut mungkin masih diperlukan. Pertimbangan dari sisi terpidana, dengan penempatan pada lokasi yang bukan merupakan kelompok kriminal tersebut, terpidana secara langsung atau tidak langsung dapat memperbaiki tingkah laku karena berkumpul dengan kelompok nonkriminal. Meskipun demikian, karena teknologi informasi merupakan aset ekslusif, diperlukan persetujuan dari penanggungjawab perusahaan untuk ditempati sebagai lokasi pidana kerja sosial tentang bidang pekerjaan mana yang dapat dikerjakan oleh terpidana. Persetujuan ini juga dimaksudkan agar perusahaan tempat pidana kerja sosial tetap terjaga kerahasiaan datanya, dan untuk menghindari agar tidak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam atau mantan orang dalam, karena cybercrime dapat dilakukan oleh “orang dalam” atau “mantan orang dalam.”

Selanjutnya, penulis berpendapat bahwa terpidana kerja sosial dapat juga ditempatkan pada perusahaan (korporasi) atau orang yang menjadi korban kejahatan, yaitu di tempat data/program/sistem komputer menjadi sasaran kejahatan. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa, pelaku kejahatan pasti sudah mengetahui beberapa kelemahan pengamanan sistem atau jaringan komputer sehingga mampu memperbaikinya atau bahkan memberikan petunjuk tentang mekanisme pengamanan program yang optimal. Meskipun demikian, perlu dipikirkan lebih lanjut tentang risiko yang mungkin ditanggung oleh terpidana, karena memungkinkan korban melakukan balas dendam terhadap terpidana. Berkaitan dengan upaya memperkecil terjadinya balas dendam, hakim sebelum menjatuhkan pidana kerja sosial harus memastikan pihak yang akan ditempati sebagai lokasi pidana kerja sosial bersedia ditempati sebagaimana pendapat penulis di atas, dan terpidana menyetujuinya.

Pembinaan, Penilaian, Pengamatan, dan Pengawasan Narapidana

Pembinaan dan pendidikan dapat dilakukan oleh Petugas Kemasyarakatan, Penanggungjawab tempat kerja sosial, wali narapidana (dari BAPAS), pamong narapidana (dari lembaga tempat pelaksanaan pidana kerja sosial), dan mungkin juga lembaga khusus yang dibentuk pemerintah yang beranggotakan para para sukarelawan (volunters) dengan tugas dan kewenangan membina narapidana. BAPAS saat ini sudah terbentuk di seluruh Indonesia. Ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan pembinaan, penilaian, dan pengawasan terhadap terpidana pidana kerja sosial. Pembinaan dan pendidikan terutama ditujukan untuk membina mentalitas terpidana agar tidak mengulangi kejahatannya lagi. Tugas BAPAS misalnya melakukan pembinaan, penilaian, dan pengawasan terpidana kerja sosial. BAPAS secara periodik menyampaikan laporan tertulis atas laporan kemajuan (progress report) pidana kerja sosial kepada Ketua Pengadilan Negeri (sebagai hakim pengawas dan pengamat), dan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (sebagai eksekutor putusan pidana). Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 36 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa (ayat (1)), sedangkan pengawasan atas pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Ketua Pengadilan (ayat (2)). Dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf c Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (LN Tahun 2004 Nomor 67, TLN Nomor 4401) ditentukan, bahwa tugas dan wewenang jaksa adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.

Pemikiran penulis di atas didasarkan pada pengalaman Inggeris dalam menyelanggarakan pidana kerja sosial, khususnya di kota Glasgow. Ini terungkap dalam ketentuan berikut. “Approximately 1000 orders are made in Glasgow each year. Glasgow City Council is responsible to court for organising placements and establishing supervisory arrangements. Community service orders are supervised by social work staff located in community service teams.” (http:/www.glasgow.gov.uk, diakses, 12 Januari 2006 pukul 11.30 WIB).

Dalam setiap tahun kira-kira 1000 orang narapidana yang dijatuhi pidana kerja sosial yang dipekerjakan di kota Glasgow. Pelaksanaan kerja sosial tersebut diselenggarakan secara bertanggung jawab oleh Dewan Kota Glasgow, yaitu dengan cara menempatkan para pengawas di lokasi pelaksanaan pidana kerja sosial.

Berkaitan dengan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan, Abdul Hakim menjelaskan bahwa tujuan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan hakim adalah untuk memperoleh kepastian tentang apakah putusan yang sudah dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pengawasan dan pengamatan juga dilakukan secara horizontal terhadap jaksa dan LAPAS. Selain itu tujuan lainnya untuk pengamatan dalam rangka mengetahui terhadap hasil kerja para hakim sendiri, yaitu putusan pidana dana pelaksanaanya (Hakim, 1985: 511-512).

Merujuk pada ketentuan tersebut, menurut penulis pengamatan dan pengawasan pidana kerja sosial dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Kejaksaan Negeri, dan BAPAS. Hasil pengawasan dan pengamatan pidana kerja sosial dapat digunakan untuk mengetahui apakah pidana tersebut efektif, dan mengetahui apakah terpidana sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan putusan hakim, serta apakah terpidana layak untuk meneruskan pidana kerja sosial. Jika tidak layak, hasil pengamatan dan pengawasan dapat digunakan sebagai bahan pihak terpidana untuk mengajukan permohonan perubahan atau penyesuaian pidana.

Sanksi bagi Narapidana yang Melakukan Pelanggaran Tata Tertib dan Putusan Pengadilan

Pada semua negara yang memberlakukan pidana kerja sosial, jika terjadi kegagalan pelaksanaan pidana kerja sosial yang disebabkan oleh terpidana, maka dapat berakibat hukum bagi terpidana, misalnya sebagai berikut.

§ Di Inggeris, terpidana dijatuhi denda sampai batas tertentu, atau mengulangi pelaksanaan pidana kerja sosial , atau dijatuhi pidana baru sebagai alternatif pengganti.

§ Di Perancis, dianggap sebagai tindak pidana tersendiri dan diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 bulan tetapi tidak melebihi jangka waktu 2 tahun.

§ Di Belanda, Norwegia dan Perancis, apabila pidana kerja sosial diterapkan bersamaan dengan pidana bersyarat (suspended sentence), maka terpidana dapat dijatuhi pidana penjara. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pidana bersyarat sesungguhnya merupakan pidana penjara yang ditunda pelaksaannya berdasarkan persyaratan tertentu sehingga jika persyaratan tersebut dilanggar maka pidana penjara akan dijatuhkan. Jika pidana kerja sosial tidak ditetapkan berkaitan dengan pidana bersyarat, maka terpidana diwajibkan mengulangi pidana kerja sosial dari awal (Hakim, 1985: 511-512).

Jika terpidana tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Putusan Pengadilan maka ketentuan dalam Pasal 86 ayat (7) RUU KUHP dilaksanakan, yaitu mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial, menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti oleh pidana kerja sosial, atau membayar seluruh atau sebagian denda yang diganti pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar. Jika tata tertib yang dilanggar adalah tata tertib pelaksanaan pidana kerja sosial yang ditentukan oleh BAPAS atau tempat kerja, maka sanksi yang dijatuhkan sesuai dengan ancaman sanksi yang sudah dirumuskan secara tertulis dan sudah diberitahukan terlebih dahulu secara layak kepada terpidana.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaku cybercrime di Indonesia, terutama pelaku yang menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan dapat secara langsung diancam dengan pidana kerja sosial. Pelaku kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana kejahatan dapat dijatuhi pidana kerja sosial jika sudah menjalani pidana penjara. Penjatuhan pidana kerja sosial didasarkan pada konsepsi individualisasi pemidanaan sebagaimana dirancang dalam RUU KUHP Indonesia Tahun 2005. Pidana kerja sosial dapat diterapkan di Indonesia karena secara filosofis, teoretis, yuridis dan empiris selaras dengan pemikiran dalam RUU KUHP.

DAFTAR RUJUKAN

Arief, Barda Nawawi. 1994. Kebijakan Legislatif: dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang.

Caesy, Eoghan, 2001, Digital Evidence and Computer Crime, A Harcourt Science and Technology Company, London.

Coffey, Allan R.. 1992. Law Enforcement: A Human Relation Approach, Prentice Hall, Englewood Clifffs, New Jersey

Dijk, J.J.M van, H.I Sagel Grande, L.G. Toornvliet. 1996. Actuele Criminologie, diterjemahkan oleh Soemitro, Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta.

Grupp, Stanley E., 1971. Theories of Punishment, Indiana University Press, Bloomington, London.

Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1984. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademi Presindo, Jakarta

Jacoby, Joseph E.. (Editor). 1994. Classics of Criminology, Second Edition, Waveland Press Inc, Illinois.

Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung

Reid, Sue Titus. 1985. Crime and Criminology, CBS College Publishing, New York.

Sadhi Astuti, Made. 1997. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang.

Sheley, Joseph F.. 1991. Criminology, Wadsworth Publisihing Company, Belmont California.

Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sutherland, Edwin H. and Donald R. Cressey. 1970. Criminology, Lippincott, Philadelphia.

Vito, Gennaro F. and Ronald M. Holmes. 1994. Criminology: Theory, Research and Policy. Wadsworth Publishing Company, Belmont California.

Widodo. 2006. Kebijakan Kriminal terhadap Kejahatan yang Berhubungan dengan Komputer di Indonesia. Disertasi Program pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Rancangan Undang-Undang (RUU)

Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2005.

Jurnal Ilmiah

Hood, Roger. Research on The Effectivenes of Punishment and Treatments, Collective Studies in Criminological Research, Volume I, 1967.

Wilkin, Leslie T. The Effectiveness of Punishment and Other Measures of Treatment. Survey of the Field from Standpoint of Facts and Figures, Council of Europe, Strassbourg, 1967.

Koran

Kompas, “Penjara Kelebihan Penghuni”, tanggal 21 Desember 2002, hlm. 12.

Internet

http:/www.glasgow.gov.uk, diakses, tanggal 12 Januari 2006 pukul 11.30. WIB