PIDANA KERJA SOSIAL DAN PIDANA PENGAWASAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI PIDANA PENJARA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA CYBERCRIME (STUDI DI DAERAH HUKUM PENGADILAN TINGGI YOGYAKARTA)
Oleh: Dr. Drs. Widodo, S.H., M.H.; dan Dra. Wiwik Utami, S.H.
(Artikel ini merupakan hasil PENELITIAN FUNDAMENTAL Tahun I, yang dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP-2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS Jakarta Tahun 2008, sebagaimana dimuat dalam JURNAL TERAKREDITASI NASIONAL, Jurnal HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT UNTAG Semarang Edisi Oktober 2008)
Abstraks:
Perkembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi dapat menghasilkan jaringan komputer (internet). Selain memudahkan kehidupan manusia, internet dapat merugikan manusia dan masyarakat. Cybercrime adalah kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat, dan kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran. Sejak Tahun 1983, di Indonesia sudah banyak terjadi kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana, dan komputer sebagai sasaran kejahatan. Penelitian ini berkategori penelitian yuridis-empiris yang dilaksanakan di
Kata kunci: pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana penjara, cybercrime.
Abstrac:
Science and technology developments can produce computer network (internet). Beside being able to make human life easier, Internet can result in negative effects on individuals and societies. Cybercrime is many crimes are committed by making use of computer and some crimes are targeting computer network and systems. Since 1983, in
Keywords: community service order, probation, imprisonment, cybercrime.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sampai pada tahap yang mapan, Begitu pula kemajuan teknologi informatika dan komputer yang sangat pesat melahirkan internet sebagai sebuah fenomena baru dalam kehidupan manusia,[1] yaitu sebagai a network of the computers interconected for electronic communication, every computer connected to the interest is assigned a numeric address, which the other computers on the network use to route massages to that computer.”[2] Media tersebut terhubung antarnegara melalui Transmission Protocol Control (TPC) atau Internet Protocol (IP).[3] Kehadiran internet memudahkan sekaligus dapat menyulitkan manusia memperoleh informasi dan menjalankan urusan-urusannya di tingkat nasional maupun internasional, misalnya dapat menimbulkan kejahatan.[4] Kejahatan yang terjadi melalui atau pada jaringan komputer di dalam internet disebut cybercrime,[5] yang mencakup 2 kategori kejahatan, yaitu kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana atau alat, dan menjadikan komputer sebagai sasaran atau objek kejahatan.[6]
Tindak pidana cybercrime terjadi di
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah mengapa hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku cybercrime; bagaimana metode pembinaan terpidana cybercrime di LAPAS dan BAPAS; apakah pidana kerja sosial dan pidana pengawasan dapat digunakan sebagai alternatif penggati pidana penjara terhadap pelaku cybercrime; dan bagaimana implikasi teoretis dan praktis terhadap penggantian pidana penjara dalam sistem pemidanaan di Indonesia di masa akan datang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan teoretik tentang jenis pidana yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti pidana penjara.
KERANGKA TEORETIK
Dalam KUHP Indonesia, jumlah ancaman pidana penjara secara tunggal maupun alternatif sebanyak 98%.[8] Pidana penjara di
Dalam rangka mencari alternatif pengganti pidana penjara (alternative to custodial sentence), seyogyanya didadasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang realistis dalam masyarakat.[10] Istilah penggantian pidana penjara dalam penelitian ini adalah mencari alternatif pengganti pidana penjara jangka pendek (kurang dari 6 bulan) dengan pidana jenis lain. Ini didasarkan pada pendapat Muladi bahwa hakikat pencarian alternatif pengganti pidana penjara adalah bagaimana membatasi penggunaan pidana penjara jangka pendek.[11]
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan penelitian hukum empiris, yaitu menelaah pelaksanakan suatu ketentuan hukum di masyarakat kemudian menganalisis untuk menentukan kebijakan hukum pada masa akan datang, Soetandyo Wignjosoebroto menyebut jenis penelitian nondoktrinal.[13] Penelitian ini dilakukan melalui studi dokumen (documentary research) dan studi lapangan (field research). Penelitian ini dilakukan di Daerah Hukum Pengadilan Tinggi Yogyakarta, meliputi Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, PN Sleman, PN Bantul, PN Kulon Progo, dan PN Wonosari. Penentuan lokasi ini didasarkan pertimbangan berikut. Pada daerah hukum tersebut sudah banyak putusan pengadilan terhadap pelaku cybercrime.[14]
Dalam penelitian ini ada 2 macam data yang dibutuhkan, yaitu data data primer dan data sekunder. Sumber data primer tersebut adalah Hakim, Jaksa, Petugas Pemasyarakatan dan Pembimbing Kemasyarakatan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen berupa Putusan Pengadilan, dan Dokumen Pembinaan pelaku cybercrime di LAPAS dan BAPAS. Penentuan responden dalam studi lapangan akan dilakukan secara purposive. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Tahapan dalam analisis data dalam penelitian ini editing, coding, klasifikasi, dan analisis.[15] Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi, dianalisis dengan SQ-3 R, yakni survey, question, read, recite/recall, review. Data yang sudah lengkap dianalisis secara kualitatif cara menguraikan secara deskriptif–analitis dan preskriptif. Dalam melakukan analisis kualitatif yang bersifat deskriptif dan preskriptif ini, analisis bertitik tolak pada analisis yuridis–sistematis yang dilengkapi dengan analisis empiris serta analisis komparatif.[16]
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil inventarisasi perkara di Pengadilan Tinggi Yogyakarta, sampai dengan bulan Juli 2008 hanya ada 2 (dua) perkara kejahatan yang menggunakan komputer (cybercrime) di daerah hukum Pengadilan Tinggi Yogyakarta, yaitu pemalsuan kartu kredit dan pornografi. Kedua perkara tersebut diputus oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Sleman. Tidak ada satu pun perkara cybercrime berupa kategori kejahatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran. Kedua perkara tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht van gewijde) di tingkat Pengadilan Negeri.[17]
1. Perkara Pemalsuan Kartu Kredit Melalui Internet (Carding) yang dilakukan oleh Petrus Pangkur alias Bonny Diobok-obok (Putusan No.: 94/ Pid.B./ 2002/ PN. SLMN, tanggal 24 Agustus 2002. Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa Petrus Pangkur Alias Bony Diobok-obok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "PENIPUAN" sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP. Majelis Hakim memidana terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan.
2. Perkara Pornografi Melalui Internet (Pornography) oleh Amando Christianto Renwarin (Putusan No. 67/Pid.S/2007/P.N.Y.K., tanggal 18 Juni 2007). AMANDO CHRISTIANTU RENWARIN sebagai Manajer Teknisi LC Network terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana " Dengan maksud untuk disiarkan mempunyai persedian gambar yang isinya diketahui melanggar kesusilaan"; menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AMANDO CHRISTIANTO RENWARIN dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan 10 (sepuluh hari) dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan (Pasal 282 ayat (3) KUHP).
Berpijak pada Putusan Pengadilan Negeri Sleman terhadap Petrus Pangkur dan Pengadilan Negeri Yogyakarta terhadap Amanndo di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut. (a) Kejahatan yang dilakukan oleh kedua tersangka tergolong canggih dan semuanya menggunakan jaringan komputer. (b) Pelaku menguasai mengoperasikan beberapa program komputer, dan browsing di internet. (c) Jaksa Penuntut Umum mendakwa pelaku melakukan perbuatan yang bertentangan dengan KUHP. (d) Jaksa Penuntut Umum menuntut pelaku cybercrime tersebut dengan pidana penjara. (e) Hakim sudah mempertimbangkan alat bukti elektronik (digital evidence), dan keterangan ahli telamatikam misalnya electronic mail (e-mail), dan file data film dalam hardisc. (f) Penyidik, Jaksa dan hakim melakukan penafsiran meluas (ekstensif) terhadap pengertian surat, dan pengertian barang. (h) Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara. (i) Kedua pelaku cybercrime tidak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
Alasan Hakim Menjatuhkan Pidana Penjara Terhadap Pelaku Cybercrime
Berdasarkan hasil wawancara dengan H. Herri Swantoro, S.H., M.H. (Ketua PN Sleman),[18] Joni, S.H., M.,H. (Hakim PN Sleman),[19] Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soedarmadji, S.H., M.H.,[20] Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Dr. Hj. Sri Sutatiek, S.H., M.H.,[21] dan hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta diperoleh data sebagai berikut. Pidana penjara dijatuhkan terhadap pelaku cybercrime kategori kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana kejahatan.
Metode Pembinaan Terpidana Cybercrime Di LAPAS dan BAPAS
Pembinaan terhadap terpidana penjara juga dapat dilakukan di luar LAPAS, apabila terpidana sudah memasuki tahap asimilasi dan cuti menjeleng bebas. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Sleman yang digunakan sebagai tempat pembinaan Petrus Pangkur (Terpidana Cybercrime). Dalam LAPAS ada beberapa Blok yang penggunaannya berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya, Blok Anggrek yang diperuntukkan Narapidana (Napi) yang melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika dan obat-obat adiktif lainnya (Narkoba), Blok Bugenvil digunakan untuk napi yang melakukan tindak pidana non-narkoba yang masa pemidanaannya tinggal 3 bulan, Blok Cempaka juga untuk Napi yang melakukan tindak pidana non-narkoba, tetapi masih baru saja mengikuti pembinaan, Blok Dahlia dan Blok Edelweis saat ini masih kosong.[22] Terpidana tindak pidana di bidang teknologi informasi (cybercrime) tidak mendapatkan pembinaan khusus, karena jumlahnya sangat sedikit (misalnya hanya 1 orang), dan pada hakikatnya perbuatan dan motifasi perbuatan tersebut hampir sama, atau bahkan sama.[23] Keterbatasan fasilitas pendukung di Lembaga Pemasyarakatan seringkali menjadi kendala dalam pembinaan narapidana, selain keterbatasan tenaga ahli yang mendukung pelaksanaan pembinaan narapidana.[24]
Sebagai perbandingan, sarana dan prasarana LAPAS Lowokwaru Malang sebagai salah satu tempat pemidanaan cybercrime di wilayah
Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan sebagai Alternatif Penggati Pidana Penjara terhadap Pelaku Cybercrime
Berkaitan dengan pidana kerja sosial dan pidana pengawasan sebagai alternatif penggati pidana penjara terhadap pelaku cybercrime, H. Herri Swantoro, S.H., M.H. (Ketua PN Sleman),[28] Joni, S.H., M.,H. (Hakim PN Sleman),[29] Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soedarmadji, S.H., M.H.,[30] Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Dr. Hj. Sri Sutatiek, S.H., M.H.,[31] Arief W, S.H., M.H. diperoleh data bahwa beberapa pemikiran para hakim adalah sebagai berikut. Substansi pidana kerja sosial kurang mendapatkan perhatian dari hakim dibandingkan dengan pidana penjara, karena masih dalam tataran wacana dalam RUU KUHP. Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada pelaku cybercrime setelah hakim memperhatikan secara seksama kondisi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana, rasa keadilan masyarakat, dan keadilan hukum. Penjatuhan pidana kerja sosial perlu diakumulasikan dengan pembayaran denda dan ganti kerugian, dan bahkan tindakan-tindakan tertentu yang diperintahkan oleh hakim. Pidana kerja sosial hanya layak menggantikan pidana penjara yang lamanya kurang dari 6 (enam) bulan. Penjatuhan pidana kerja sosial perlu mendapat persetujuan dari terpidana. Pidana kerja sosial tidak layak dijatuhkan kepada pelaku cybercrime residivis. Pelaksanaan pidana kerja sosial perlu direncanakan secara matang oleh pemerintah agar dapat efisien dan efektif, baik pelaksanannya, tempat pelaksanaanya, kebutuhan masyarakat, dan kemampuan terpidana. Pelaksanaan pidana kerja sosial harus mengandung unsur prevensi khusus dan prevensi umum. Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan.
Implikasi Teoretis dan Praktis terhadap Penggantian Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia pada Masa Akan Datang
Fakta tentang dominansi ancaman pidana penjara bagi pelaku cybercrime, dan kecenderungan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara baik jangka panjang maupun jangka pendek terhadap pelaku cybercrime di atas, sama dengan kecenderungan hakim-hakim yang
Ancaman pidana penjara dalam hukum pidana materiel di
Dalam kaitannya dengan fakta di atas, Aloysius Wisnubroto mengemukakan bahwa ciri-ciri aliran legisme tersebut adalah Undang-Undang dianggap satu-satunya perintah penguasa, praktik kehakiman dipandang sebagai penerapan undang-undang pada perkara-perkara konkret secara rasional belaka, dan ajaran ini banyak dianut oleh para pemikir dari aliran positivisme yang mengutamakan undang-undang sebagai satu-satunya hukum. Tokoh aliran legisme adalah John Austin (analitical jurisprudenz) dan Hans Kelsen (Reine Rech-lehre). Jika dikaji secara mendalam, kelemahan dari pola pemikiran hakim yang cenderung bersifat “mekanis” yang lebih mengutamakan pertimbangan yuridis tersebut adalah belum tercapainya keadilan masyarakat sebagaimana yang diharapkan, dan seringkali putusan pidana penjara tidak sesuai dengan kebutuhan terpidana untuk menyongsong masa depannya.[35] Ketentuan Undang-Undang dianggap sebagai “komando” yang harus dilaksanakan, sehingga unsur-unsur individual terpidana dan rasa keadilan masyarakat sering terabaikan.[36] Penulis berpendapat bahwa kondisi peradilan seperti ini tidak akan dapat mendukung secara optimal terhadap penanggulangan kejahatan melalui pendekatan kebijakan penal, karena indikasi dan fakta tentang kelemahan pidana penjara tidak direspons secara positif oleh pengadilan dengan cara membatasi penggunaan pidana penjara dalam kebijakan hukum pidana (penal policy).
Meskipun pidana penjara merupakan pidana utama yang diancamkan dan dilaksanakan oleh mayoritas negara, sejak dahulu sampai saat ini efektivitas pidana penjara diragukan.[37] Penelitian Djisman Samosir di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada tahun 1990 menemukan bahwa mayoritas terpidana tidak jera.[38] Karena itu, pidana penjara makin banyak mendapat sorotan tajam dari para ahli penologi.[39] Roger Hood di Inggris menyimpulkan bahwa jenis pidana yang paling kurang efektif adalah pidana penjara.[40] Hasil penelitian ini selaras dengan kesimpulan Juga Leslie T. Wilkins, bahwa berdasarkan hasil survei diketahui bahwa humanitarian systems of treatment (e.g. probation) are no less effective in reducing the probability of recidivism than several forms of punishment.” [41]
Di sisi lain, pidana penjara bukan hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, melainkan juga menimbulkan akibat-akibat negatif, bahkan narapidana akan menjadi lebih jahat setelah keluar dari penjara,[42] dehumanisasi, berisiko terjadi prisonisasi, menimbulkan “cap jahat” (stigma).[43] Pidana penjara yang bersifat pemidanaan bukan merupakan alat yang efektif untuk pencegahan kejahatan terhadap kebanyakan narapidana.[44] Karena itu PBB merekomendasikan agar, penjatuhan pidana penjara dikurangi.[45] Meskipun banyak kelamahan, pidana penjara tetap menjadi salah satu alternatif pengamanan masyarakat. Pidana penjara lebih manusiawi dibandingkan dengan tindakan sewenang-wenang terhadap pelaku tindak pidana oleh masyarakat yang dilakukan di luar prosedur hukum.[46] Barnes dan Teeters, mengemukakan “We have taken the position throughout that prisons as we know then in our culture have failed in rehabilitation and, in fact, have been the instruments in hardening many of their victims in anti social attitudes. We are not prepared to abolish them all at this time, though we are convinced that the swing eventually be in that direction.”[47] Akhirnya, penulis berpendapat bahwa pidana penjara masih diperlukan dalam sistem pemidanaan dan layak diancamkan terhadap pelaku cybercrime di
Penulis berpendapat, bahwa kelayakan ancaman pidana terhadap pelaku cybercrime juga didasari pertimbangan bahwa (a) perbuatan tersebut bertentangan dengan kesusilaan, agama, dan moral Pancasila; (b) membahayakan atau merugikan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara; (c) menghambat tercapainya pembangunan nasional. Ketiga kriteria tersebut merupakan kesimpulan Barda Nawawi Arief tantang kelayakan ancaman pidana penjara.[49]
Berpijak pada hasil penelitian di atas dapat dipahami bahwa tidak semua pelaku cybercrime kategori kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sasaran layak dijatuhi pidana kerja sosial, karena ada beberapa pelaku yang motivasinya hanya untuk memperoleh keuntungan ekonomi berupa uang, dan belum tentu banyak menguasai tentang oprasionalisasi komputer apalagi komputer jaringan. Pidana kerja sosial hanya dapat dijadikan alternatif jika terdakwa memang mempunyai kemampuan yang memadai dalam operasionalisasi komputer, motivasi kejahatan bukan semata-mata mencari keuntungan ekonomi, serta bukan residivis.
Berdasarkan fakta di atas bahwa salah satu alasan utama semua hakim dalam menjatuhkan pidana penjara karena diancamkan dalam hukum pidana, maka secara teoretis ketentuan pidana kerja sosial juga diancamkan secara tersirat dalam hukum pidana, yaitu sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dalam RUU KUHP. Ini merupakan implikasi teoretis bahwa hakim di Indonsia masih banyak, bahkan mayoritas mengedepankan pemikiran positivistik. Jenis pidana ini juga diancamkan terhadap pelaku cybercrime (yaitu yang melakukan kejahatan terhadap sistem atau jaringan komputer di 8 negara asing, yaitu Azerbaijan, Beylorusia, Georgia, Hungaria, Kazakstan, Latvia, Peru, dan Rusia.[50] Hal ini jug tidak bertentangan dengan Artice 13 Convention on Cybercrime, karena dalam konvensi tersebut hanya merekomendasikan penjatuhan sanksi berupa pidana dan/atau tindakan, dan tidak mengatur tentang apa jenis pidana atau tindakan, serta bagaimana esekusinya.
Sistem pemidanaan di LAPAS belum membedakan antara narapidana pelaku cybercrime dengan narapidana umum, karena itu pembinaannya disamakan. Hal ni secara teoretis merupakan langkah yang ceroboh, karena kedua kategori pelaku tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Karena itu, berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan oleh Widodo nbahwa pelaku cybercrime di Indonesia layak diancam dengan pidana kerja sosial.[51]
Dasar-dasar pertimbangan penulis merekomendasikan penjatuhan pidana kerja sosial terhadap pelaku cybercrime di Indonesia adalah sebagai berikut. Secara filosofis Pidana kerja sosial selaras dengan sila ke lima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang di dalamnya terkandung nilai bekerja keras. Dalam menjalankan pidana kerja sosial, terpidana dituntut bekerja keras dalam menjalani pemidanaan.[52] Pidana kerja sosial merupakan “budaya asli” bangsa Indonesia, karena dalam hukum adat Indonesia tidak dikenal pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Kesesuaian nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia dengan nilai-nilai pidana kerja sosial ini merupakan pendorong keberhasilan pelaksanaan pidana kerja sosial.[53]
Secara teoretis, Pidana Kerja Sosial sesuai dengan Ajaran Teori Gabungan (vernengings theorien), karena sudah tersirat tentang pembedaan pidana berdasarkan berat ringannya kejahatan dan pembinaan narapidana; dalam pidana kerja sosial terkandung unsur rehabilitasi, re-edukasi, dan re-sosialisasi. Selama menjalankan pidana, narapidana dibina dan dibimbing dan dibina dari sisi pembentukan sikap dan tingkah laku oleh Petugas Kemasyarakatan (dari BAPAS), wali narapidana (dari BAPAS), pamong narapidana (dari pegawai tempat pelaksanaan pidana), dari lembaga khusus yang dibentuk pemerintah (misalnya dari sukarelawan): mengandung unsur pembalasan berupa penderitaan, karena proses pembinaan dan pengawasan narapidana di tempat pidana kerja sosial juga merupakan penderitaan, begitu pula pemenuhan kewajiban narapidana untuk terrhadap segala persyaratan sebagaimana ditentukan oleh pengadilan, BAPAS, penanggungjawab tempat pidana kerja sosial juga dapat merupakan penderitaan. Jika terpidana tidak memenuhi kewajiban tersebut, akan diperintahkan melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam RUU KUHP Pasal 86 ayat (7); mengandung unsur perlindungan masyarakat karena sudah ada tindakan pemidanaan nyata dari pemerintah; sesuai dengan nilai budaya bangsa indonesia yaitu melakukan perbuatan yang bernilai sosial karena dilakukan di organisasi kemasyarakatan yang tidak mengutamakan perolehan keuntungan. Ini sesuai dengan sila ke dua dan ke lima Pancasila yang mengandung nilai kemanusiaan dan keadilan. Selain itu, pidana kerja sosial sesuai dengan aliran modern dalam hukum pidana dan konsep individualisasi pemidanaan, yaitu menjatuhkan pidana sesuai dengan kondisi pelaku tindak pidana dengan mengabaikan prinsip keseimbangan monodualistis.[54] Selain itu, juga harus ada keseimbangan antara nilai-nilai nasional dengan nilai-nilai global.[55]
Pidana kerja sosial sesuai dengan teori pemidanaan integratif, yaitu perlindungan masyarakat, pemeliharaan solidaritas masyarakat, pencegahan umum dan khusus, dan pengimbalan/pengimbangan. Ini selaras dengan kondisi filosofis, sosiologis, dan ideologis masyarakat Indonesia.[56] Menurut hasil penelitian Widodo, pidana kerja sosial dapat digunakan sebagai sarana pencapaian tujuan pemidanaan sebagaimana direncanakan dalam Pasal 54 RUU KUHP. Secara empiris, keunggulan pidana kerja sosial dibandingkan dengan jenis pidana lain adalah: dapat mencegah stigmatisasi dan prisonisasi terpidana, narapidana dapat memperbaiki tingkah laku dengan fasilitas yang ada di masyarakat, melindungi terpidana dan masyarakat, sesuai dengan karakteristik pelaku cybercrime, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan pelaksanaan di luar negeri, tidak bertentangan dengan ketentuan Convention on Cybercrime (tahun 2001) dan rekomendasi PBB dalam beberapa kali kongres, dan dapat mengurangi pengeluaran uang negara.
Berpijak pada uraian tentang penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku cybercrime di Indonesia dan kelemahan pidana penjara, penulis berpendapat bahwa sesuai dengan karakteristik pelaku cybercrime dan tujuan pemidanaan maka pelaku cybercrime dapat dijatuhi pidana pidana kerja sosial atau pidana pengawasan. Hal ini didasarkan pada paradigma pemidanaan modern yang berpijak pada konsepsi individualisasi pemidanaan. Pidana kerja sosial dapat digunakan sebagai alternatif pengganti penjatuhan pidana jangka pendek. Uraian di atas didasarkan pada ketentuan Pasal 83 dan Penjelasan Pasal 83 RUU KUHP diuraikan sebagai berikut. “Pidana kerja sosial dapat diterapkan sebagai altertnatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Pidana kerja sosial sudah diterapkan sebagai alternatif pengganti pidana penjara jangka pendek di beberapa negara kawasan Eropa, misalnya Denmark, Jerman, Inggris, Perancia, Belanda, Norwegia, dan Portugal.[57] Selain itu, Swiss dan Italia juga memberlakukan pidana kerja sosial.[58] Dengan demikian ketentuan tentang Pidana kerja sosial dan pidana pengawasan tersebut sesuai dengan ketentuan pidana di beberapa negara di luar negeri, Konvensi Cybercrime, dan Reesolusi PBB.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, hakim masih cenderung menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku cybercrime, baik pidana penjara jangka pendek maupun jangka panjang karena lebih mengedepankan pemikiran positivisme hukum. Hakim sudah melakukan penemuan hukum melalui penefsiran ekstensif dalam mengadili pelaku cybecrime, tetapi belum melakukan terobosan untuk mencari alternatif penggati pidana penjara dengan pidana lain yang lebih sesuai dengan karakteristik pelaku cybercrime, misalnya pidana percobaan sebagaimana diatur dalam KUHP.
Pelaku cybercrime tidak mendapatkan perlakukan dan pembinaan khusus baik di LAPAS maupun di BAPAS. Fasilitas pembinaan Napi di LAPAS sangat terbatas, begitu pula kemampuan BAPAS dalam melakukan pembinaan lanjutan juga belum optimal.
Secara filosofis dan teoretis, pidana kerja sosial layak digunakan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek yang penjatuhannya diakumulasikan dengan pidana denda dan tindakan-tindakan tertentu, karena lebih sesuai dengan konsepsi individualisasi pemidanaan dan asas keseimbangan monodualistik, serta `selaras dengan ketentuan di 8 negara asing.
RUU KUHP sudah mencantumkan pidana kerja sosial sebagai reaksi terhadap pemikiran pemidanaan modern dan dapat digunakan sebagai rujukan ancaman pidana kerja sosial terhadap pelaku cybercrime. Hal ini sejalan dengan pertimbangan filosofis, teoretis, dan empiris.
a. Berkaitan dengan kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan bahwa dalam jangka pendek, untuk menggantikan pidana penjara jangka pendek, Hakim masih dapat menjatuhkan pidana percobaan atau pidana denda sebagaimana diatur dalam KUHP terhadap cybercrime, karena lebih sesuai dengan karakteristik cybercrime. Dalam jangka panjang, dalam proses pembahasan RUU KUHP, pembahas seyogyanya merumuskan ancaman pidana kerja sosial dalam setiap tindak pidana cybercrime yang menggunakan komputer sebagai sasaran kejahatan sebagaimana di beberapa hukum pidana negara asing. Pelaksanaan pidana kerja sosial perlu direncanakan secara matang oleh pemerintah agar dapat efisien dan efektif, baik pelaksanannya, tempat pelaksanaanya, kebutuhan masyarakat, dan kemampuan serta bakat terpidana.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif: dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro,
________, Sari Kuliah: Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada,
Bottomley, A. Keith, Decixions in the Penal Process, Law and Society Series, Martin Robertson and Company,
Barnes & Teeters, New Horizons in Criminology, Third Edition, Prentice Hall of India,
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnja Paramita, Jakarta, 1993
Koentjaraningrat (Edit.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1981.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro semarang, Semarang, 1995.
Rahardjo, Agus, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
RUU KUHP, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2005.
Sadhi Astuti, Made, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang, Malang, 1997.
Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta,
Smedinghoff , Thomas J. (Edit.), Online Law: The SPA’s Legal Guide to Doing Business on the Internet, Addison Wisley,
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,
Tongat, Pidana Kerja Sosial dan Pembaharuan Hukum Pidana
Wisnubroto, Aloysius, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya,
Jurnal Ilmiah
Bottomley, A. Keith, “Decixions in the Penal Process”, Law and Society Series, Martin Robertson and Company,
Hood, Roger. Research on The Effectivenes of Punishment and Treatments, Collective Studies in Criminological Research, Volume I, 1967.
Widodo, Urgensi Ancaman Pidana Kerja Sosial terhadap Pelaku Cybercrime dalam RUU KUHP Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial “WACANA” Program Pascasarjana Universitas Brawijaya ISSN:141q-0199, TERAKREDITASI No.49/DIKTI/ Kep/2003, Vol. 9. No. 3 Desember 2006.
_______, Analisis Kriminologis tentang Penyebab Pelaku Kejahatan yang Berhubungan dengan Komputer di Indonesia (Studi di Unit V Infotek/Cybercrime, Direktorat II Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Wilkin, Leslie T. The Effectiveness of Punishment and Other Measures of Treatment. Survey of the Field from Standpoint of Facts and Figures, Council of
Tesis dan Disertasi
Hafad, Makaroda, Penjatuhan Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Anak. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang, 2004.
Widodo, Perlindungan Hukum terhadap Anak Pidana dan Anak Negera: Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 2001.
______, Kebijakan Kriminal terhadap Kejahatan yang Berhbungan dengan Komputer di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 2006.
Makalah
Mamudji, Sri. “Teknik Menganalisa Dokumen, Makalah dalam Penataran metode Penelitian Hukum di jakarta, tanggal 21 sampai dengan 31 Juli 1997.
Nitibaskara, Tb. R. “Problema Yuridis Cybercrime”, Makalah pada Seminar Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, Juli 2000.
Wignjosoebroto, Soetandyo. “Hukum dan Metode-Metode Kajiannya”. Makalah, 1998.
Koran
Pikiran Rakyat, “Pelaku Cybercrime dihukum Penjara 15 Bulan”, Sabtu tanggal 31 Agustus 2002
Internet
Gema, Ari Juliano, “Cybercrime: sebuah Fenomena di Dunia Maya”,
http:www.theceli.com/dokumen/produk/jurnal/ajo/a002.shtml, diakses tanggal 30 Januari 2006, pukul 09.21 WIB.
Komisi Hukum Nasional, “Akses Ke Peradilan” Laporan Akhir, http://www. komisihukum. go.id/ files/hasil/f.3.pdf, diakses tanggal 2 Februari 2007, pukul 17.50 WIB.
[1] Ari Juliano Gema, “Hukum dan Kejahatan Komputer.” Majalah Infotek, 2001, hal. 4.
[2] Thomas J. Smedinghoff (Edit.), Online Law: The SPA’s Legal Guide to Doing Business on the Internet, Addison Wisley,
[3] Agus Rahardjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 59.
[4] Ari Juliano Gema. op.cit., 2001, hal. 4.
[5] Tb. R. Nitibaskara, “Problema Yuridis Cybercrime”, Makalah pada Seminar Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, Juli 2000, hal. 2.
[6] Laporan Dokumen Kongres PBB X.
[7] Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999, hal 46-47.
[8] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan kejahatan dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
[9] A. Keith Bottomley, Decixions in the Penal Process, Law and Society Series, Martin Robertson and Company,
[10] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro
[11] Muladi, op.cit., 1995, hal. 134.
[12] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnja Paramita,
[13] Soetandyo WignjosSoebroto, “Hukum dan Metode-Metode Kajiannya”, hal. 246.
[14] “Pelaku Cybercrime dihukum Penjara 15 Bulan”, Harian Pikiran Rakyat, Sabtu tanggal 31 Agustus 2002.
[15] Koentjaraningrat (Edit.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia,
[16] Sunaryati Hartono, “Penelitian Hukum Menjelang Abad XXI”, Alumni,
[17] Inventarisasi Dokumen di Bagian Hukum Pengadilan Tinggi
[18] Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Sleman, tanggal 2 Juli 2008 di Ruang Ketua Pengadilan Negeri Sleman.
[19] Wawancara dengan Joni, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Sleman, tanggal 3 Juli 2008 di Ruang Hakim Pengadilan Negeri Sleman.
[20] Wawancara dengan Soedarmadji, S.H., M.H.., Wakil Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, tanggal 12 Agustus 2008 di Ruang Ketua Pengadilan Negeri Surabaya.
[21] Wawancara dengan Dr. Hj. Sri Sutatiek, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tanggal 1Agustus 2008 di Ruang Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
[22] Informasi dari Kepala LAPAS Sleman, Muchtar Sarbeni, di LAPAS Sleman, tanggal 10 Juli 2008.
[23] Informasi dari Pegawai Bagian Pendidikan, tanggal 9 Juli 2008 di LAPAS Sleman
[24] Wawancara dengan Petugas Pemasyarakatan, tanggal 9 Juli 2008 di LAPAS Sleman
[25] Ibid.
[26] Widodo, Perlindungan Hukum terhadap Anak Pidana dan Anak Negara (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar). op. cit. 2001, hal. 23.
[27] Komisi Hukum Nasional, “Akses Ke Peradilan” Laporan Akhir, http://www. komisihukum. go.id/ files/hasil/f.3.pdf, diakses tanggal 2 Februari 2007, pukul 17.50 WIB.
[28] Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Sleman, tanggal 2 Juli 2008 di Ruang Ketua Pengadilan Negeri Sleman.
[29] Wawancara dengan Joni, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Sleman, tanggal 3 Juli 2008 di Ruang Hakim Pengadilan Negeri Sleman.
[30] Wawancara dengan Soedarmadji, S.H., M.H.., Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, tanggal 12 Agustus 2008 di Ruang Ketua Pengadilan Negeri Surabaya.
[31] Wawancara dengan Dr. Hj. Sri Sutatiek, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tanggal 1Agustus 2008 di Ruang Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
[32] Widodo, op.cit., 2006, hal. 223.
[33] Ibid., hal. 203.
[34] Komisi Hukum Nasional, “Akses Ke Peradilan” Laporan Akhir, http://www. komisihukum. go.id/ files/hasil/f.3.pdf, diakses tanggal 2 Februari 2007, pukul 17.50 WIB.
[35] Makaroda Hafad, Penjatuhan Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Anak. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya,
[36] Widodo, op. cit., 2006, hal. 318.
[37] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,
[38] Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta Bandung, 1992, hal. 56.
[39] Ibid, hal.15.
[40] Roger Hood, Research on The Effectivenes of Punishment and Treatments, Collective Studies in Criminological Research, Volume I, 1967, hal. 73.
[41] Leslie T. Wilkins, The Effectiveness of Punishment and Other Measures of Treatment. Survey of the Field from Standpoint of Facts and Figures, Council of Europe, Strassbourg, 1967, hal. 81.
[42] Ibid., hal. 44.
[43] Muladi, op. cit., 1992. hal. 235.
[44] Barda Nawawi Arief, op, cit., 1994. hal. 45.
[45] Ibid. hal. 46-47.
[46] Ibid. hal. 204.
[47] Barnes & Teeters, New Horizons in Criminology, Third Edition, Prentice Hall of India, New Delhi, 1966, hal. 584
[48]Barda Nawawi Arief, 1994. hal. 196.
[49] Ibid.
[50] Widodo, Urgensi Ancaman Pidana Kerja Sosial terhadap Pelaku Cybercrime dalam RUU KUHP Indonesia, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial “WACANA” Program Pascasarjana Universitas Brawijaya ISSN:141q-0199, TERAKREDITASI No.49/DIKTI/ Kep/2003, Vol. 9. No. 3 Desember 2006.
[51] Widodo, op.cit, 2006, hal. 321.
[52] Made Sadhi Astuti, Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang,
[53] Ibid., 1997, hal. 157.
[54] Barda Nawawi Arief, op. cit., 1994, hal. 14.
[55] Rancangan RUU tentang KUHP, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 4.
[56] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hal. 11.
[57] Tongat, Pidana Kerja Sosial dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001, hal. 8.
[58] Andi Hamzah, op. cit., 1993, hal. 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar