01 Februari 2009

URGENSI PENDIDIKAN POLITIK BAGI MASYARAKAT

DALAM RANGKA MENOPANG PENCAPAIAN TATANAN

MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Dr. Drs. Widodo, S.H., M.H.[*]

A. PENDAHULUAN

Dalam masyarakat manapun secara alamiah terdapat pengelompokan-pengelompokan atau partai-partai (Azhar, 1997:22). Pengelompokan-pengelompokan tersebut dimotivasi oleh persamaan keturunan, tempat tinggal, agama, suku, kepentingan, visi dan persepsi. Kelompok-kelompok tersebut dalam masyarakat mengalami fluktuasi seiring dengan kondisi dalam masyarakat. Akhirnya kelompok-kelompok yang terorganisasi dan memenuhi persyaratan yang ditentukan pemerintah dapat menjadi partai politik.

Munculnya partai politik di berbagai negara merupakan konsekuensi logis dari lahirnya paham demokrasi. Ironis, di negara yang secara historis “melahirkan” gagasan demokrasi, yaitu Yunani dan Romawi Kuno, sendiri pada saat itu belum dikenal partai politik. Partai politik pertama kali ada di Inggris sebagai kelompok sosial yang mereaksi atas munculnya golongan bangsawan yang mendominasi pemerintahan (Prodjodikoro, 1981: 104).

R. H. Soltau menyebutkan secara tegas bahwa pengertian partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasi, yang bertindak sebagai suatu keasatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memilih tujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka (Siswoyo, 1994: 178-179).

Sebagai pengemban negara yang berpaham demokrasi, pemerintah Indonesia harus memberi peluang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik atau organisasi massa sebagai wadah pelaksanaan hak politik sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Ketentuan ini tidak operasional, karena perlu Undang-Undang Kepartaian. Bagi bangsa Indonesia, sesungguhnya partai politik merupakan budaya baru yang muncul karena pengaruh asing pada sekitar dekade 70 tahun terakhir (Budiardjo, 1994: 217).

Era reformasi di Indonesia sudah berjalan lebih dari 10 tahun, sudah banyak perubahan dalam pengelolaan kepartaian dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi. Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini sudah lebih memahami demokrasi, hal ini terbukti dari sudah dilaksanakannya beberapa kali pemilihan umum baik pemilihan umum legislatif, presiden dan wakil presidan dan pemilihan kepala daerah. Namun demikian, masih ada sejumlah orang yang perlu terus-menerus mendapatkan pendidikan politik agar mereka mampu berpartisipasi dalam pembangunan bidang politik secara optimal, misalnya warga masyarakat pedesaan. Salah satu cara melakukan sosialisasi politik adalah melalui pendidikan politik, baik secara formal, informal maupun nonformal. Khusus untuk masyarakat pedesaan, sosialisasi tersebut dapat dilaksanakan secara informal dan nonformal oleh partai politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan pemegang peran (stake holder) lainnya. Meskipun demikian, pengurus partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi masih perlu terus berbenah, khususnya dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai agen sosialisasi politik. Partai politik ternyata masih belum mampu secara optimal melaksanakan sosialisasi politik sampai pada kalangan masyarakat dalam waktu yang relatif lama. Karena itu, peranserta tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dalam sosialisasi politik mutlak diperlukan.

Efektivitas dan efisiensi pendidikan politik perlu terus ditingkatkan, karena itu, pemerintah, para pemegang peran dan agen-agen politik perlu memperhatikan karakteristik pendidikan politik, dan karakteristik pembelajaran orang dewasa, serta media penunjang pembelajarannya. Meskipun selama ini, pendidikan politik sudah dilaksanakan, namun partisipasi politik masyarakat masih relatif rendah. Salah satu indikatornya, adalah masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, masih seringkali terjadi bentrokan fisik antarpendukung partai politik, masih banyaknya masyarakat yang apatis terhadap proses pemerintahan, dan masih banyaknya “badut-badut” politik yang sesungguhnya juga tidak memahami makna dan hakikat politik.

Berdasarkan fakta tersebut, penulis berpendapat bahwa sangat mungkin dalam proses pendidikan politik tersebut terjadi sesuatu yang salah, mungkin pada sumber belajar, narasumber, peserta, metode, atau sarana dan prasarana pendukungnya, atau mungkin karena merosotnya kepercayaan masyarakat pada proses politik dan agen politi (partai politik). Berdasarkan beberapa hasil survei, seiring dengan perkembangan masayarakat, citra dan presepsi masyarakat terhadap Partai Politik sangat memprihatinkan. Salah satunya adalah hasil survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independent. Penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, bahwa citra dan kinerja partai politik (parpol) tetap memburuk di mata masyarakat. Sebanyak 53,2 persen menilai citra parpol buruk; 22,4 persen menyatakan baik; 24,4 persen tidak tahu. Sedangkan terhadap kinerja parpol, masyarakat merasa kurang puas sebesar 45,9 persen; tidak puas 26 persen; tidak tahu 17 persen; dan puas hanya 11,1 persen. Hasil penelitian ini tentu saja mengukuhkan kesan dan pendapat masyarakat, bahwa citra dan kinerja parpol di era reformasi ini memang tak beranjak jauh dari era-era sebelumnya. Citra dan persepsi partai politik yang rendah di mata masyarakat ini telah mendorong berbagai kalangan untuk memperbaiki sistem kepartaian Indonesia ((RUU Bidang Politik : Menuju Demokrasi yang Makin Jurdil & Akuntabel , http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria, diakses tanggal 1 Nopember 2008, pukul o8.05 WIB).

.Berkaitan dengan fakta di atas, ada permasalahan mendasar yang perlu dikritisi, yaitu bagaimana langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda agar dapat berperan secara aktif dalam pendidikan politik di masyarakat. Untuk mengulas permasalahan tersebut, dalam makalah secara berurutan penulis akan menguraikan tentang (1) Urgensi pendidikan politik bagi masyarakat; (2) keterkaitan antara partai politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, kesadaran politik, partisipasi politik, dan budaya politik; (3) Langkah-langkah Strategis pelaksanaan pendidikan politik oleh Tokoh Masyarakat (Tomas), Tokoh Agama (Toga), dan Tokoh Pemuda (Toda) dalam rangka menopang percepatan pencapaian tatanan Masyarakat Madani Indonesia. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah, anggota masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda untuk bahan acuan dalam rangka ikut serta membangun budaya politik masyarakat Indonesia.

B. URGENSI PENDIDIKAN POLITIK BAGI MASYARAKAT

Sebagai penyangga demokrasi di Indoesia, kehadiran partai politik sangat diperlukan, begitu pula pendidikan politik yang dapat digunakan sebagai wahana pembentukan budaya politik. Muatan materi dalam pendidikan politik bukan semata-mata tentang kepartaian dan segala aspeknya, melainkan semua aspek politik dalam penyelenggaraan negara pada pemerinatahan pusat dan daerah dalam ruang lingkup kekuasaan legislatif eksekutif, dan yudikatif, baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kebijakan. Substansi materi pendidikan politik tersebut adalah nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Karena itu, para ahli sepakat bahwa inti dari definisi pendidikan politik adalah penyemaian dan pendarahdagingan (internalisasi) nilai-nilai demokrasi pada masyarakat agar dapat mendorong kesadaran dan partisipasi politik masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Nilai-nilai yang dimaksud antara lain nilai keadilan, kesetaraan, keterbukaan, toleransi yang diimplementasikan dalam pengelolaan kekuasaan. Nilai-nilai itu akan dapat memperluas wawasan politik dan bahkan membentuk budaya politik di masyarakat. Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa arah pendidikan politik sesungguhnya adalah demokrasi itu sendiri (Kartono, 1996:34). Arah pendidikan politik di Indonesia berkiblat pada nilai-nilai Pancasila.

Berdasarkan konsepsi di atas maka urgensi pendidikan politik bagi masyarakat antara lain dalam rangka:

1. Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap ketentuan tentang penyelenggaraan negara dalam arti luas yang mencakup penyelenggaraan bidang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif;

2. Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dalam penyelenggaraan negara, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kebijakan publik;

3. Membentuk budaya politik partisipan, yaitu masyarakat yang dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan negara sesuai dengan proporsinya masing-masing;

4. Menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;

5. Meminimalisasi terjadinya perpecahan dan permusuhan dalam masyarakat, dan mencegah disintegrasi bangsa;

6. Menunjang pencapaian tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan urgensi keterlibatan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dalam pendidikan politik, karena fakta membuktikan bahwa partai politik dan pememrintah serta sekolah atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya belum mampu secara optimal melakukan pendidikan politik. Hal ini didasari rasionalitas bahwa pendidikan politik di masyarakat sebenarnya merupakan model pendidikan politik orang dewasa yang perlu dilakukan secara terus-menerus dengan mengendepankan pendekatan-pendekatan humanistik.

Sesuai dengan ketentuan, saat ini para kader partai politik mendapatkan porsi yang lebih utama dalam pendidikan politik melalui partai politik. Kampanye untuk Pemilu Legislatif yang akan berlangsung pada tanggal 9 April 2009 telah dimulai sejak hari Sabtu tanggal 12 Juli 2008. Kampanye ini diikuti oleh Parpol peserta Pemilu 2009. Kampanye yang dimulai 9 bulan sebelum hari pemilihan ini diharapkan oleh berbagai pihak, termasuk oleh pihak Komisi Pemilihan Umu dapat dijadikan ajang oleh pihak Parpol, yaitu bukan hanya melakukan sosialisasi politik, tetapi juga untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat secara jujur dan adil. Berkaitan dengan fakta ini, Syamsuddin Haris dari LIPI, mengemukakan bahwa jika tugas pendidikan politik adalah tugas dari Parpol semata dan oleh karena itu harus dibebankan kepadanya, maka keberhasilannya cukup mengkawatirkan. Fakta membuktikan bahwa Parpol di Indonesia sudah sejak dulu belum dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara optimal, sebagaimana fungsi yang ditekankan oleh para ahli politik, misalnya melakukan pendidikan politik, komunikasi politik dan penengah konflik. Parpol di Indonesia lebih berperan sebagai alat pencari dan pengakumulasi kekuasaan belaka. Karena itu , Undang-undang No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur bahwa Parpol mesti menjalankan tugasnya untuk melakukan pendidikan politik dengan baik. (Josef Christofel Nalenan, Pendidikan Politik, Parpol Dan Pemilu 2009, http://www.jppr.or.id, diakses tanggal 11 Oktober 2008, pukul 02.30 WIB).

C. KETERKAITAN ANTARA PARTAI POLITIK, SOSIALISASI POLITIK, PENDIDIKAN POLITIK, KESADARAN POLITIK, PARTISIPASI POLITIK, DAN BUDAYA POLITIK

1. Partai Politik

Carl J. Friedrich (1967:35) mendifinisikan partai politik berdasarkan tujuannya, yaitu untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, untuk maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materiel. “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective df securing or maintaning for its leaders the control of a government, with the farther objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”. R. H. Soltau (Budiardjo, 1988: 166) mengemukakan bahwa pengertian partai politik adalah organisasi yang dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan dalam menjalankan kebijaksanaan umum: “A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the us of their voting power, aim to control the govern ment and carry out their general policies”.

Miriam Budiardjo (1988:163-164) menyebut 4 (empat) macam fungsi Partai Politik, yakni sebagai Sarana Komunikasi Politik, sebagai Sarana Sosialisasi Politik (Instrument of Political Sosialization); sebagai Sarana Recruitment Politik; dan sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management). Secara konkret, fungsi-fungsi Parpol dalam negara demokratis antara lain: (1) menampung berbagai kepentingan dari kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat dan mengartikulasikan tuntutan-tuntutan mereka; (2) memberi sumbangan bagi perdamaian dan stabilitas politik dengan memampukan beragam kelompok untuk ambil bagian dalam proses politik dengan cara yang terarah, tertib, konstitusional, dan dapat diramalkan; (3) memainkan peran yang signifikan dalam memilih, menjaga dan memajukan para politisi yang dapat bekerja untuk kepentingan rakyat banyak; (4) bertindak sebagai jembatan antara proses pengambilan keputusan politik dan masyarakat; (5) menyediakan sistem yang konstitusional dan kondusif bagi peralihan kekuasaan secara sah; (6) bertindak sebagai instrumen untuk melakukan sosialisasi, mobilisasi, dukungan, dan integrasi budaya politik yang damai, antikekerasan, partisipatif dan emansipatoris. (Abdul Choliq Dahlan, Pemilu 2009 dan Disfungsi Parpol http://harianjoglosemar.com, diakses tanggal 13 Oktober 2008, pukul 08.35 WIB). Namun demikian, fungsi sosialisasi politik sampai saat ini masih sering diabaikan oleh partai politik.

2. Sosialisasi Politik dan Pendidikan Politik

Sosialisasi adalah proses bagaimana mekanisme dan strategi memperkenalkan sistem politik pada seseorang dan bagaimana seseorang tersebut melakukan tanggapan serta reaksi-reaksi dalam bentuk aktivitas terhadap gejala-gejala politik yang sedang terjadi. Sosialisasi politik tersebut sekaligus merupakan suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya. Dengan demikian, hakikat sosialisasi politik tersebut merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat.

Dalam sosialisasi politik juga terjadi proses pembelajaran, sehingga setiap individu akan memperoleh orientasi-orientasi berupa keyakinan, perasaan dan komponen-komponen nilai pemerintahan dan kehidupan politik secara konseptual maupun praktis. Dari sisi masyarakat, sosialisasi politik memrupakan cara memelihara atau mengubah kebudayaan politik. Proses tersebut dapat membentuk sikap-sikap dan nilai-nilai politik yang dapat ditanamkan kepada anak-anak dan orang dewasa agar kelak dapat direkrut dalam kader-kader politik yang dapat memerankan fungsinya sebagai agen politik.

Pendidikan politik adalah proses pembelajaran tentang politik yang dapat dilakukan secara formal (melalui sekolah), informal (di lingkungan keluarga), dan nonformal (di masyarakat). Pendidikan politik tersebut merupakan proses yang kontinyu dan berkesinambungan sesuai dengan karekateristik peserta didik (warga belajar), materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran, serta sumber belajar dan pengajar.

3. Kesadaran Politik dan Partisipasi Politik

Menurut M. Taopan, kesadaran politik (political awwarnes) merupakan proses bathin yang menampakkan keinsyafan dari setiap warga negara akan pentingnya urusan kenegaraan dalam kehidupan bernegara. Karena itu, harus mendukung pemerintah, mengingat kompleks dan beratnya beban yang harus dipikul para penyelenggara negara. Kesadaran politik tersebut dapat terwujud salah satunya melalui sosialisasi politik. Salah satu cara sosialisasi politik adalam melalui pendidikan politik. Kesadaran politik dapat dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi politik yang dilakukan secara indivivdu maupun melembaga.

4. Budaya Politik

Budaya politik adalah sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Budaya politik juga berarti sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya (Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, 1989:47). Budaya politik merupakan sutu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai - nilai dan ketrampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola - pola kecenderungan khusus serta pola - pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok - kelompok dalam masyarakat. Karena itu, budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkahlaku individu/ masyarakat terhadap sistem politik. Orientasi politik tersebut terdiri dari 2 tingkat yaitu: di tingkat masyarakat dan di tingkat individuaal. Orientasi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari otientasi individual. Menurut Almond dan Verba, masyarakat mengidentifikasi dirinya terhadap simbol-simbol dari lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang dimilikinya.

Menurut Almond dan Powel, orientasi individu terhadap sistem politik mencakup 3 aspek yaitu :

a. Orientasi kognitif, yaitu pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik. Misalnya, tingkat pengetahuan seseorang tentang jalannya sistem politik, tokoh pemerintahan dan kebijakan yang mereka ambil, simbol-simbol kenegaraan.

b. Orientasi afektif, yaitu aspek perasaan dan emosional seseorang individu terhadap sistem politik, misalnya senang, tertarik, antipati.

c. Orientasi evaluatif, yaitu penilaian seseorang terhadap sistem politik, menunjuk pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik terhadap kinerja sistem politik, misalnya mendukung, menolak, atau sekedar mengkaji.

Secara teoretik, berdasarkan realitas budaya politik yang berkembang di masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik menjajdi 3 jenis sebagai berikut.

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).

b. Budaya politik kaula (subjek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Meskipun demikian, ternyata dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan politik, tidak menutup kemungkinan terbentuknya budaya politik yang merupakan gabungan atau campuran dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Secara rinci, Almond mengemukakan karakteristik dari masing-masing klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat adalah sebagai berikut.

a. Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.

b. Budaya Politik subjek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik. Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subjek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

c. Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair. Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik (Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, 1989 : 47-56)..

Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subjek sebagaimana diuraikan Almond di atas, tetapi terdapat variasi campuran di antara ketiga klasifikasi tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik berikut.:

a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)

b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)

c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture) (Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, 1989 : 56)..

Berkaitan dengan kondisi budaya politik di Indonesia, Afan Gaffar (2004:106-118) mengemukakan bahwa budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik. Sedangkan Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia adalah sebagai berikut (Kartaprawira, 1999:37-39):

a. Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keaneka ragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).

b. Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya - yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial - sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif – yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern – kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.

c. Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.

d. Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap objek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.

e. Dilema interaksi tentang introduksi moderenisasi (dengan segala konsekwensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Varibel-variebel tersebut di atas terjali satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi tidak ditaati.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk membentuk budaya politik bangsa Indonesia (misalnya budaya politik partisipan), maka diperlukan sosialisasi politik melalui pendidikan politik, yang dapat dilakukan oleh partai politik atau stake holder lain agar anggota masyarakat dapat mempunyai kesadaran politik yang tinggi sehingga mampu melakukan partisipasi politik. Dengan demikian, antara partai politik, sosialisasi politik, kesadaran dan partisipasi politik serta budaya politik merupakan rangkaian yang tidak terpidahkan, dalam rangka penyelenggaraan negara.

D. LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS PELAKSANAAN PENDIDIKAN POLITIK OLEH TOKOH MASYARAKAT (TOMAS), TOKOH AGAMA (TOGA), DAN TOKOH PEMUDA (TODA) DALAM RANGKA MENOPANG PERCEPATAN PENCAPAIAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA.

Konsep masyarakat madani (civil society) merupakan hasil dari sebuah perjalanan panjang mulai dari pemikiran zaman Thomas Hobbes, Lokce, J.J Rousseau, dan Frederick Hegel sampai saat ini. Dalam kepustakaan Indonesia dan Malaysia, istilah civil society identik dengan pengertian masyarakat Madani. Soetandyo Wignjospebroto menggunakan istilah “masyarakat warga” untuk menerjemahkan civil society. Pengertian “masyarakat warga” adalah adalah suatu bentuk masyarakat ideal yang di dalamnya tidak dikenal adanya diskriminasi antara mereka yang berstatus “dipertuan” dengan segala hak istimewanya dengan mereka yang berstatus “diperhamba” dengan segala macam beban kewajibannya sehingga mereka berkedudukan sama dalam hal hak dan kewajiban (Wignjosoebroto, 1999:1). Civil society dianggap sebagai kumpulan seluruh institusi dan asosiasi sosial nonkeluarga dalam suatu yang mandiri, independen dan mampu secera efektif memepengaruhi kebijakan publik (Khoiron, dkk., 1999:38).

Masyarakat sipil (civil society) merupakan prasyarat pembentukan masyarakat demokratis, sehingga masyarakat sipil harus ada sebelum adanya demokrasi. Masyarakat sipil mungkin dapat juga terbentuk tanpa adanya demokrasi, tetapi demokrasi tidak mungkin ada tanpa adanya masyarakat sipil yang kuat (Khoiron, dkk., 1999:38). Berdasarkan konsepsi pemikiran tersebut, berarti terciptanya civil society diperlukan demi terciptanya supra struktur yang disebut nation state (Wignjosoebroto, 1999:5). Masyarakat sipil yang kuat tidak lahir dengan sendirinya, tetapi harus diperjuangkan melalui beberapa langkah dan tahapan serta perjuangan tersebut tidak mengenal titik kulminasi (titik puncak). Berkaitan dengan masyarakat mamdani, bahwa "...true belief and sacrifice for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision making at various levels, and implementation of the new form of civic education to develop smart and good citizens". Cuplikan ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tantangan bagi pendidikan demokrasi dan Hak Asasi manusia di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan demokrasi dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warga negara dan kualitas seluruh kehidupan masyarakat.

Civil society adalah elemen kunci dalam menentukan terwujudnya masyarakat demokratis yang efektif, karena demokrasi tidak mungkin ada tanpa civil society yang kuat. Kuntowojoyo (Arfani, Edit., 1996:29) mengemukakan bahwa demokratisasi (baca: proses pendemokrasian) tidak dapat dipisahkan dengan pembentukan civil society karena demokrasi adalah mekanisme dari civil society. Mahadi S., dkk. (Arfani Edit., 1996:64) menegaskan bahwa pendidikan politik dalam sistem pemerintahan yang demokratis menempati posisi sentral karena secara ideal pendidikan selalu bertujuan mendidik tentang kebajikan dan tanggungjawab sebagai warga civil society.

Berpijak pada pola pemikiran di atas dapat diketahui bahwa civil society merupakan prasyarat pembentukan demokrasi, dan salah satu teknik membentuk civic society adalah pendidikan politik. Penempatan pendidikan politik sebagai basis pembentukan civil society berarti akan membentuk suatu konstruksi masyarakat masyarakat sipil yang demokratis, yaitu masyarakat yang mempunyai karakteristik sebagai berikut.

a. Ada asosiasi sipil yang secara politik independen dari negara dan aktif dalam semua aspek kehidupan masyarakat;

b. Terdapat budaya toleran dan dialog yang berlaku pada segala aspek kehidupan;

c. Muncul pemahaman terhadap persamaan atau setidaknya kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki dalam bidang politik, hak untuk memilih dan hak untuk menolak pemerintahannya;

d. Antara masyarakat sipil dengan negara dalam tatanan masyarakat demokrasi yang kuat ditandai dengan setaranya akses semua kelompok tanpa memandang basis gender, ras, agama atau ideologi terhadap negara;

e. Membangun secara terus-menerus tentang redefinisi otonomi politik dalam kaitannya dengan sistem kenegaraan;

f. Menjamin dan membela kesetaraan akses masyarakat terhadap negara (Khoiron, dkk., 1999: 40-42).

Berkaitan dengan pendidikan politik bagi orang dewasa, perlu diketahui terlebih dahulu konsepsi pendidikan orang dewasa. Pendidikan orang dewasa (Adult Learning/Adult Education) adalah A cooperative venture in non authoritarian, informal learning, the chief purpose of which is to discover the meaning of experience; a quest of the mind which digs down to the roots of the preconceptions which formulate our conduct; a technique of learning for adults which makes education coterminous with life and hence elevates living itself to the level of adventurous experiment. Karena itu, hal-hal penting dalam pendidikan orang dewasa adalah sebagai berikut: Situasi kooperatif dan tidak autoritatif, Proses belajar bersifat informal, Tujuan utama adalah untuk memaknai pengalaman, Suatu proses belajar yang membuat hidup itu sendiri sebagai petualangan dalam bereksperimen. Asumsi-asumsi yang perlu diperhatikan, bahwa Orang dewasa termotivasi untuk belajar sesuai dengan kebutuhan yang dirasakannya serta minatnya, dimana proses belajar diasumsikan dapat memenuhi kebutuhannya ini; Orientasi orang dewasa dalam belajar adalah life- centered; Pengalaman adalah sumber utama dalam proses belajar orang dewasa; Orang dewasa memiliki kebutuhan yang dalam untuk self-directing; dan Perbedaan individual berkorelasi dengan usia. Tipe-tipe pembelajarnya adalah sebagai berikut.

  1. The Goal-oriented Learners: seseorang yang menggunakan pendidikan sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu.
  2. The activity-oriented: seseorang yang mengambil bagian dalam pendidikan karena menemukan makna dari apa yang dipelajarinya walaupun kadang tidak berkaitan langsung dengan aktifitasnya.
  3. The learning-oriented: yang mencari pengetahuan untuk pengetahuan itu semata.

Pendidikan orang dewasa (Andragogi) berbeda dengan pendidikan konvensional pada umumnya, yaitu sebagai berikut.

  1. Dalam pendidikan konvensional, pembelajar memainkan peran submisif.
  2. Andragogi didasari oleh asumsi bahwa pembelajar memahami kenapa ia perlu untuk belajar, memiliki tanggung jawab terhadap keputusan dan hidupnya sendiri, memulai proses belajar dengan
  3. sejumlah pengalaman yang sudah dimilikinya, memiliki kesiapan untuk belajar karena sesungguhnya sudah berhadapan langsung dengan obyek yang sedang dipelajarinya dan ingin menghadapinya
  4. secara lebih efektif, dan lebih termotivasi secara internal ketimbang eksternal.

Kunci Pengajaran Andragogi adalah demokrasi (Democracy), keberlanjutan (Continuity), dan interaksi (Interaction). (Training of Trainer - Karakteristik Pendidikan Orang Dewasa, http://indosdm.com/training-of-trainer-karakteristik-pendidikan-orang-dewasa, diakses tanggal 28 Oktober 2008, pukul 09.38 WIB)

Malcom Knowles, pelopor Andragogy, mengazaskan empat prinsip Pembelajaran orang dewasa (1) orang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanan dan evaluasi pengajaran. (2) Perencanaan pengajaran perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu (3) Penggunaan sumber pembelajaran seperti buku pelajaran sebaiknya didiskusikan sebelum proses belajar-mengajar dimulai. (4) Evaluasi pengajaran dilaksanakan untuk mendapatkan feedback (masukan) demi perbaikan proses pemebelajaran ke depan.

Akhirnya diketahui bahwa proses penilaian hasil belajar pada pendidikan orang dewasa adalah proses menilai diri sendiri, dengan membantu peserta memperoleh bukti-bukti bagi mereka sendiri. Bukti evaluasi hasil belajar digunakan bukan menilai baik atau buruk, tetapi untuk mendiagnosa ulang kebutuhan belajarnya. (Metode Tarbiyah dan Pendidikan Orang Dewasa, http://faridfisika.multiply.com/journal/item, diakses tanggal 5 Nopember 2008, pukul 09.56 WIB)

Berpijak pada konsepsi dan uraian di atas, dapat dipahami bahwa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, dan Tokoh pemuda serta stake holder lainnya dalam melakukan pendidikan politik orang dewasa adalah sebagai berikut.

1. Dalam tahap perencanaan pembelajaran, calon peserta atau yang mewakili perlu diajak musyawarah untuk merencanakan program pendidikan. Melalui model ini maka perencanaannya akan bersifat partisipatif, dan hasilnya akan lebih efektif.

2. Metode yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik pembelajar, materi yang akan disajikan, dan tujuan yang diharapkan, serta media yang tersedia. Metode pembelajaran yang “santai” tetai kondusif mungkin lebih mengena dari pada yang model klasikal. Kegiatan pembelajaran juga harus kontinyu dan mengedepankan proses dan hasil pembelajaran.

3. Evaluasi yang dilaksanakan seyogyanya hanya untuk mengetahui tingkat keberhasilan belajar, baik dalam rangka melanjutkan pada materi berikutnya maupun untuk mengetahui daya serap peserta belajar.

Berdasarkan pengalaman Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) pendekatan dialog adalah cara yang cukup efektif dalam melakukkan pendidikan politik. Untuk pemilu 2009 dialog-dialog dengan warga harus dilakukan secara massal khususnya di tingkat desa di seluruh Indonesia, setiap desa bisa membuat komunitas-komunitas dialog yang beranggotakan sekitar 30-50 orang. Pengorganisasian komunitas-komunitas dialog ini dilakukan oleh kelompok civil society dengan bekerjasama dengan tokoh maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan tingkat desa. Dengan dialog-dialog yang intensif maka rakyat akan semakin terdidik dan mengetahui dengan baik nilai-nilai demokrasi, di mana masyarakat bukan hanya mengenal demokrasi yang prosedural tetapi juga demokrasi yang substansial. (Josef Christofel Nalenan, Pendidikan Politik, Parpol dan Pemilu 2009, http://www.jppr.or.id, diakses tanggal 11 Oktober 2008, pukul 02.30 WIB).

Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam pendidikan politik orang dewasa adalah membentuk forum warga. Agar pelaksanaanya dapat efisien dan efektif, maka perlu dipahami karakteristik berikut. Forum warga memiliki berbagai kekuatan, misalnya:

  1. Kapasitasnya mengubah kesadaran masyarakat dari passive citizenship menjadi active citizenship. Bila active citizenship bisa terbentuk maka masyarkat itu berpotensi menjadi embrio gerakan sosial untuk mengartikulasikan kepentingan publik.
  2. Memberi ruang pada masyarakat marginal yang sehari-hari tidak punya akses terhadap politik untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
  3. Mendekatkan komunikasi antara rakyat dan pejabat publik atau antara rakyat dengan sumber-sumber kekuasaan.
  4. Menjadi media bagi masyarakat untuk merepresentasikan diri.

Forum warga juga tidak lepas dari sejumlah kelemahan, khususnya bahwa forum tersebut bersifat cair (meskipun punya tim inti). Beberapa kelemahan lainnya adalah:

  1. Belum bisa terjaminnya janji kebijakan yang telah diperjuangkannya.
  2. Kekhawatiran munculnya sifat anarkis jika massa membesar.
  3. Sulit untuk mengakomodasi keragaman aspirasi.
  4. Mudah tergiur pada ‘agenda-agenda’ jangka pendek.
  5. Proses pembentukan forum warga yang aktif memakan waktu yang lama.
  6. Memunculkan elit-elit oligarkis di tingkat lokal (Agenda Menuju Demokrasi Bermakna di Indonesia, Jakarta 24 – 26 November 2005, http:www. demosindonesia.org/pdf, diakses tanggal 5 Nopember 2008, pukul 10.05 WIB).

Pembentukan warga dapat dilakukan jika diantara para warga sudah mempunyai visi yang sama terhadap urgensi pendidikan politik, karena itu sebelum dibentuk, dan pada saat membentuk serta dalam melaksanakan kegiatan, pendekatan-pendekatan manajemen pendidikan perlu diterapkan.

Melalui pendekatan pendidikan politik yang kondusif maka kesadaran politik masyarakat akan terbentuk yang mengarah pada pembentukan budaya politik partisipan sebagaimana yang diinginkan oleh semua pihak. Jika budaya masyarakat sudah peduli dengan politik dan dapat memberikan konntribusi positif bagi penyelenggaraan negara, maka pembangunan politik dapat mengarah pada pencapaian tatanan masyarakat madani Indonesia, yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

E. PENUTUP

Berdasarkan paparan dan kajian diu atas dapat dipahami bahwa pendidikan politik bagi msayarakat (orang dewasa) mempunyai posisi strategis dalam rangka membentuk budaya politik partisipan dalam wadah Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Partai politik ternyata belum optimal dalam melaksanakan fungsinya sebagai agen politik yang melakukan sosiaslisasi politik melalui pendidikan politik, karena itu tokoh mayarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda perlu melakukan sosialisasi politik secara langsung ke masyarakat dengan menggunakan pendekatan yang selaras dengan kepentingan orang dewasa dan pembangunan politik. Melalui pendidikan politik dan peranserta stake holder, maka kesadaran politik masyarakat akan berkembang dan akan berdampak pada percepatan pencapaian tatanan masyarakat madani Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Arfani, Riza Nur, (Edit), 1996. Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Azhar, Iponk S. 1997. Benarkah DPR Mandul, Pemilu, Partai, dan DPR Masa Orde Baru. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Budiardjo, Miriam. 1994. Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta : Gramedia.

. 1986. Dasar-dasar lmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Frederich, Carl J., 1967. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company.

Gaffar, Affan. 2004.. Politik Indonesia. Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mas’oed, Mochtar dan Collin Mac Andrews. 1989. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kartaprawira, Rusadi. 1999. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Kartono, Kartini, 1996. Pendidikan Politik. Jakarta: Erlangga.

Khoiron, M. Nur, dkk., 1999. Pendidikan Politik bagi Warganegara (Tawaran Operasional dan Kerangka Kerja). Kerjasama antara Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) dan The Asia Foundation, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Azaz-Azaz Ilmu Negara dan Politik. Bandung: PT Eresco.

Siswoyo, Wahid, 1994. Pendidikan Politik. Jurusan PMP&KN IKIP Malang.

Makalah

Widodo, Reformulasi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Era Otonomi Daerah dalam Rangka Menuju Tatanan Masyarakat Madani (Civil Society), Disampaikan dalam Acara Internalisasi wawasan kebangsaan, Badan Kesatuan bangsa dan perlindungan Masyarakat Kabupaten malang, 12 September 2007.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 1999. Masyarakat Warga: Salah Sebuah Prasyarat bagi Terciptanya Kehidupan Bernegara yang Demokratik. Makalah disampaikan dalam Rangka Peninjauan Kembali Silabi Pancasila, di Universitas Airlangga.

Internet

Abdul Choliq Dahlan, Pemilu 2009 dan Disfungsi Parpol , http://harianjoglosemar.com, diakses tanggal 13 Oktober 2008, pukul 08.35 WIB.

Agenda Menuju Demokrasi Bermakna di Indonesia, Jakarta 24 – 26 November 2005, http:www. demosindonesia.org/pdf, diakses tanggal 5 Nopember 2008, pukul 10.05 WIB.

Josef Christofel Nalenan, Pendidikan Politik, Parpol Dan Pemilu 2009, http://www.jppr.or.id, diakses tanggal 11 Oktober 2008, pukul 02.30 WIB.

Metode Tarbiyah dan Pendidikan Orang Dewasa, http://faridfisika.multiply.com/ journal/ item, diakses tanggal 5 Nopember 2008, pukul 09.56 WIB.

RUU Bidang Politik : Menuju Demokrasi yang Makin Jurdil & Akuntabel , http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria, diakses tanggal 1 Nopember 2008, pukul o8.05 WIB.

Training of Trainer - Karakteristik Pendidikan Orang Dewasa, http://indosdm.com/ training-of-trainer-karakteristik-pendidikan-orang-dewasa, diakses tanggal 28 Oktober 2008, pukul 09.38 WIB.



[*] Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang, Jl. Danau Sentani 99 Malang

Tidak ada komentar: